Halimah hendak bertandang ke rumah Siti!
(Janda Berhias Tak Mandi Berdimbar)
Oleh Sahril 
’Halimah hendak bertandang ke rumah Siti!”, adalah sebuah kalimat bahasa Melayu dialek Deli yang diteliti oleh Tengku Syarfina untuk disertasi beliau di Sekolah Pascasarjana USU. Beliau memilih 124 responden yang terdiri atas kalangan orang kebanyakan dan kalangan bangsawan Melayu; pendidikan dasar, menengah, dan tinggi; kelas sosial atas, menengah; dan bawah; dan yang lebih banyak menggunakan bahasa Melayu dialek Deli daripada bahasa Indonesia, seimbang penggunaan bahasanya, dan lebih banyak memakai bahasa Indonesia daripada bahasa Melayu dialek Deli. 
Penelitian ini melihat dari segi ”Pemarkah Sosial Penutur Bahasa Melayu Deli” yang ditinjau dari sudut fonetik akustik yakni frekuensi, modul, dan intensitas. Menggunakan perangkat komputerisasi dengan program frag. Sesuatu yang ingin dicapai oleh Tengku Syarfina adalah mencari pola ucap.
Begitulah ilustrasi dari disertasi Tengku Syarfina yang telah diujikan di depan Rektor USU pada tanggal 13 Juni 2008. Tulisan ini, bukanlah untuk membahas hasil disertasi tersebut, tetapi ada sesuatu yang menarik dari kalimat ’Halimat hendak bertandang ke rumah siti!’ itu. Apanya yang menarik? Berikut ini adalah ilustrasi dari setengah kajian ilmiah dan setengah lagi fiksi.
Namanya Halimah, 
janda muda ditinggal mati suami 
yang ditelan ganasnya Selat Malaka. 
Empat bulan menikah, 
bibit disemai belum sempat tumbuh. 
Suami dicinta karam di laut. 
Tinggallah Halimah mengurai tangis siang dan malam. 
Masa idah telah berlalu, 
rindu Halimah pada suaminya belumlah pupus. 
Malam bermimpi, siang pun mengigau, 
kalau suaminya belumlah pulang. 
Menjelang petang, duduk termenung 
seakan menunggu suami pulang 
membawa ikan untuk dipanggang. 
Wajah rupawan pelan menghilang, 
badan sekerat hampir tinggal tulang. 
Makanan dihidang tak ada disentuh. 
Kalau pun ada karena ibunya memaksa. 
Walaupun begitu, Halimah tetap berhias, 
setiap pagi mandi keramas. 
Katanya, tadi malam habis berganas 
bersama suaminya yang telah tiada. 
Menjelang sore, Halimah berhias 
menanti suami pulang melaut. 
Begitu pun ibu bapaknya tetap menurut, 
walau kasihan melihat anak sematawayangnya itu. 
Telah berbilang orang pintar diundang, 
tetapi hasilnya belumlah gemilang.
Suatu ketika Halimah dibawa bertandang 
ke rumah Siti. 
Siti adalah teman sepermainan Halimah 
semenjak masa kecil hingga masing-masing berumah tangga. 
Antara keduanya pun ada ikatan keluarga. 
Siti menyambut Halimah dengan pelukan sedih, 
Halimah hanya menatap hampa. 
Tak ada ujar yang terucap dari bibirnya 
yang dulu dipuji dan dipuja jejaka 
dengan pujian delima merekah, 
kini kisut ditelan penderitaan batin. 
Walau di situ, masih menempel warna lipstik, 
tetapi tak mampu memancarkan 
cahaya kecantikan Halimah yang dahulu. 
Keduanya dikenal sebagai bunga kampung 
yang sangat mekar dan ranum. 
Sehingga banyak lelaki mengincar mereka, 
di antaranya hanya putra Datuk Penghulu 
yang berhasil berlabuh di hati Halimah, 
sedangkan di hati Siti adalah keponakan Datuk Penghulu.
Setahun berlalu telah, 
Halimah sedikit berubah. 
Hatinya tabah menerima musibah. 
Telah berbilang orang kampung memayu Halimah, 
kepada jejaka maupun duda. 
Banyak sudah di antara mereka datang bertandang, 
tetapi tak seorang pun dipandang Halimah. 
Orangtuanya semakin gelisah, 
status janda begitu membuat gundah. 
Banyak bisik dan cerita miring 
datang bertubi menerpa ke telingga mereka. 
Bukannya takut ataupun malu, 
tetapi niat mereka supaya orang lain tak lagi berdosa, 
akibat membuat kisah mengada-ada. 
Halimah tahu, tentang nasibnya. 
Ia pun gundah ingin mengakhiri. 
Tetapi tiada seorang yang mampu 
menandingi mendiang suaminya. 
Setiap selesai sembahyang, 
ia bermunajat agar dikirimi 
seorang lelaki yang pantas untuknya.
 
KEKERASAN DALAM CERITA TRADISI LISAN 
Oleh O.K. Sahril, S.S.
(Balai Bahasa Medan, Depdiknas)
Tradisi lisan atau folklor lisan bisa berbentuk cerita, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat. Bentuk cerita dan fabel, misalnya cerita Nyai Roro Kidul dan Si Kancil Yang Cerdik. W.R. Bascom dalam bukunya Four Functions of Foklore (1954) mengatakan bahwa tradisi lisan/folklore mencerminkan suatu aspek kebudayaan, baik yang langsung maupun yang tidak langsung, dan tema-tema kehidupan yang mendasar, misalnya kelahiran, kehidupan keluarga, penyakit, kematian, penguburan dan malapetaka, atau bencana alam yang universal, seperti yang terdapat dalam cerita Nyai Roro Kidul dan cerita lainnya.
Cerita tradisi lisan yang berasal dari berbagai pulau di 
Menggunakan cerita tradisi lisan dalam bentuk yang disebut nursery rhymes untuk anak-anak Taman Kanak-Kanak dan juga anak-anak yang sudah bersekolah. Akan tetapi, akhir-akhir ini, guru-guru sekolah maupun ibu-ibu rumah tangga agak enggan menggunakan nursery rhymes dengan berbagai alasan. Misalnya, terlalu banyak kekerasan dan sexism yang terdapat dalam cerita, dalam bentuk penyiksaan dan pembunuhan baik terhadap anak-anak kecil maupun orang dewasa. Seolah-olah fairy tales adalah tempat berkembangbiaknya kekejaman, kedengkian, dan dendam kesumat. Jika kita baca dan amati cerita tradisi lisan kita bisa melihat tidak saja ada unsur kekejaman dan kedengkian, tetapi juga seakan-akan tersaji unsur kanibalisme. 
Cerita-cerita lisan pada abad ke-19 banyak memperlihatkan kekerasan, manipulasi psikologi, dan banyak pembunuhan. Semua cerita tradisi lisan diulang kembali dalam bentuk tulisan oleh orang dewasa. Kenyataan ini mempengaruhi persepsi anak karena hubungan emosional dengan cerita yang mereka ketahui waktu kecil sulit untuk dianalisis secara obyektif. Seakan-akan, cerita tradisi lisan hanya bisa dinikmati tetapi tidak untuk dianalisis. Cerita tradisi lisan Indonesia banyak mengandung kekerasan, misalnya meninggal karena diterkam harimau,  dikutuk oleh ibu kandungnya, bunuh diri, keangkaraan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, menjelma menjadi pohon, menjelma menjadi seekor ular, malapetaka besar, dan lain-lainnya.
Ambil misal pada cerita rakyat Sumatera Utara, di antaranya Asal Mula Danau Si Losung dan Si Pinggan, berkisah tentang perkelahian antara seorang abang dan adik di tanah Batak. Oleh masyarakat setempat, keberadaan Danau Si Losung dan Danau Si Pinggan dikaitkan dengan adanya peristiwa yang sangat luar biasa, yang pernah terjadi di daerah itu. Peristiwa itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat Lintong Ni Huta, Tapanuli Utara. Konon, dahulu ada dua orang bersaudara, yang tua bernama Datu Dalu, sedangkan adiknya bernama Sangmaima. Orang tua mereka baru saja meninggal dunia, karena diterkam harimau saat mencari tumbuhan obat-obatan di hutan. Kedua orang itu hanya meninggalkan warisan berupa sebuah tombak pusaka. Menurut adat yang berlaku di daerah itu, jika orang tua meninggal, maka tombak pusaka jatuh ke tangan anak yang tertua. Sesuai hukum adat itu, maka Datu Dalu-lah yang berhak memiliki tombak pusaka itu. Suatu ketika, Sangmaima ingin meminjam tombak pusaka itu untuk berburu babi hutan. Datu Dalu bersedia meminjamkan tombak pusakanya, dengan syarat Sangmaima harus menjaganya dengan baik agar tidak hilang.
Begitu juga pada cerita rakyat Asal Mula Kolam Sampuraga. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang asal mula Kolam Sampuraga yang terdapat di daerah Padang Bolak, Kabupaten Madina (Mandailing Natal), Sumatera Utara. Menurut masyarakat setempat, Kolam Sampuraga merupakan penjelmaan dari seorang pemuda bernama Sampuraga, yang dikutuk oleh ibu kandungnya sendiri. 
Asal Mula Pulau Si Kantan. Menurut cerita, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhanbatu. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau, karena dikutuk oleh ibu kandungnya.
Batu Gantung (Legenda Kota Parapat). Selain sebagai objek wisata yang eksotis, Parapat juga merupakan sebuah kota yang melegenda di kalangan masyarakat di Sumatera Utara. Dahulu, kota kecil ini merupakan sebuah pekan yang terletak di tepi Danau Toba. Setelah terjadi suatu peristiwa yang sangat mengerikan, tempat itu oleh masyarakat diberi nama Parapat. Dalam peristiwa itu, muncul sebuah batu yang menyerupai manusia yang berada di tepi  Danau Toba. Menurut masyarakat setempat, batu itu merupakan penjelmaan seorang gadis cantik bernama Seruni. Ia sangat sedih, karena akan dinikahkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda yang masih saudara sepupunya. Padahal ia telah menjalin asmara dengan seorang pemuda pilihannya dan telah berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia. Ia sangat bingung. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, dan di sisi lain ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya. Oleh karena merasa tidak sanggup memikul beban berat itu, ia pun mulai putus asa. Rupanya gadis itu ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat ke Danau Toba yang bertebing curam itu.
Kisah Kelana Sakti. Cerita ini mengisahkan bahwa pada zaman dahulu kala di daerah Sumatera Utara, berdiri sebuah kerajaan besar bernama Kerajaan Purnama yang diperintah oleh Raja Indra Sakti, seorang Raja yang terkenal adil dan bijaksana. Negeri yang dipimpinnya tersebut selalu dalam suasana aman sejahtera dan makmur sentosa. Setelah mangkat, sang Raja tidak digantikan oleh putranya, karena masih kecil. Maka kemudian, sang Raja digantikan oleh seorang Panglima Kerajaan bernama Badau yang memiliki sifat angkuh dan sombong. Sejak Panglima Badau memerintah, Negeri Purnama menjadi kacau balau. Seluruh rakyatnya menjadi resah dan menderita. Di akhir cerita ini, yang memulihkan keadaan yang sedang kacau balau tersebut, bukan dari keluarga raja, melainkan seorang pemuda dari keluarga rakyat biasa bernama Kelana Sakti. Cerita ini sangat populer di kalangan masyarakat Sumatera Utara, yang dikenal dengan Kisah Kelana Sakti. Kelana dan ayahnya berusaha mempertahankan harta benda yang mereka miliki. Namun mereka kalah kuat. Kelana dan ayahnya dihajar para prajurit itu. “Tolong, jangan sakiti anak dan suamiku. Ambillah harta yang kalian inginkan,” Ibu Kelana mengiba. “Sudah, jangan cerewet. Ayo ikut kami ke istana!” bentak seorang prajurit sambil menyeret ibu dan ayah Kelana. Melihat ibu dan ayahnya diseret, Kelana berteriak-teriak memanggil ibu dan ayahnya, “Ayah…Ibu…, jangan bawa ibu dan ayah saya, tuan!” Teriakan Kelana itu membuat para prajurit kerajaan tambah jengkel. Tiba-tiba, beberapa prajurit mendekati Kelana dan menghajarnya hingga pingsan. Setelah itu, prajurit tersebut pergi meninggalkan Kelana yang masih tergeletak di tanah.
Kisah Pohon Enau. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500--800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo. Berkisah tentang si Beru Sibou, menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolangkaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.
Simalungun merupakan salah satu suku asli dari Sumatera Utara. Dalam bahasa Simulungun, kata “simalungun” memiliki kata dasar “lungun” yang berarti “sunyi”. Diberikan nama demikian, karena penduduk daerah itu masih sedikit dan pemukiman mereka terletak saling berjauhan. Orang Batak Toba menyebutnya “Si Balungu”, sedangkan orang Karo menyebutnya “Batak Timur”, karena bertempat di sebelah timur mereka. Di daerah ini, terdapat cerita rakyat yang sangat terkenal, yaitu Kisah Putri Ular. Cerita ini mengisahkan kegagalan seorang putri raja yang cantik jelita untuk dijadikan permaisuri oleh seorang raja muda yang tampan, karena sang putri tiba-tiba menjelma menjadi seekor ular. 
Legenda Lau Kawar. Legenda Lau Kawar merupakan sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo. Menurut masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau Lau Kawar adalah sebuah desa yang bernama Kawar. Dahulu, daerah tersebut merupakan kawasan pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama penduduknya adalah bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah, meskipun tidak pernah memakai pupuk dan obat-obatan seperti sekarang ini. Suatu waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya merupakan sebuah desa yang subur menjelma menjadi sebuah danau.
Konsep Kesetiaan dan Kedurhakaan
Tentang konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi sastra klasik, berkembang ajaran bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusuri, ajaran ini, antara lain, pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai “bayangan Tuhan di muka bumi” (zillullah fil Ard). Pada teks Melayu klasik, semisal Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Adat Raja-raja Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Taj al-Salatin, Undang-undang Melaka dll. seringkali mendeskripsikan pengadopsian gelar-gelar serupa, semisal Zillullah fil Ard, Zillullah fil Alam, “Khalifah Allah di Bumi” dll. oleh para penguasa.
Dalam tradisi politik Islam Melayu, seperti tampak dalam teks Sejarah Melayu atau Taj al-Salatin, misalnya, raja atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Raja dianggap sebagai orang yang mulia dan mempunyai berbagai kelebihan. Posisi raja adalah setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Dalam hal ini, teks Taj al-Salatin menganalogikan Raja dan Nabi sebagai “dua permata dalam satu cincin”. Konsep ini tentu saja mengandung arti bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan: keduniaan, dan keagamaan. Bahkan, dalam beberapa mata uang Malaka abad 15 misalnya, Sultan yang memerintah dinyatakan sebagai Nashir al-Dunya wa al-Din (Penolong dunia dan Agama). Oleh karenanya, kekuasaan raja atau penguasa menjadi muqaddas atau suci, dan wajib hukumnya bagi rakyat untuk taat kepada penguasa dengan melaksanakan apapun titahnya.
Sifat mutlak kekuasaan raja atau penguasa dalam tradisi ini kemudian lebih diperkuat lagi dengan konsep “setia” dan “durhaka”, yang juga meniscayakan kemutlakan kekuasaan raja, sehingga rakyat dituntut untuk setia tanpa batas. Mereka yang ingkar (durhaka) kepada raja akan menerima hukuman. Hukum sendiri, dalam Undang-undang Melaka misalnya, dikemukakan sebagai sebuah aspek martabat raja: “…siapa saja yang melanggar apa yang telah dinyatakan dalam undang-undang ini, dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan terhadap Sri Baginda…”. Pada gilirannya, posisi hukum demikian seringkali mengakibatkan munculnya tindakan-tindakan raja yang sewenang-wenang, tidak bertumpu pada azas rule of law, tidak terbuka terhadap keragaman, dan seterusnya.
Adanya konsep ini, membuat cerita rakyat kita kurang berterima terhadap kehidupan anak-anak. Mereka hidup dalam konsep demokrasi yang begitu liar. Tayangan-tayangan televisi yang hadir mengisi keseharian mereka, semuanya mengisahkan tentang konsep kebebasan yang sangat luar biasa. Ambil misal, kisah-kisah kartun impor dari Jepang, betapa seorang anak begitu leluasa terhadap guru, orangtua, dan teman sepermainannya. 
Kisah-kisah tradisi lisan kita juga kurang menampilkan hal-hal yang bersifat logika, lebih banyak berkisah tentang hal-hal gaib. Hal ini kurang diminati oleh anak-anak sekarang. Di samping itu, gagalnya sastra kita masuk dalam kehidupan anak-anak disebabkan antara lain (1) anak-anak tidak tertarik lagi pada lisan, dampaknya dongeng pun raib, (2) anak-anak lebih tertarik pada audio visual dan mempraktikkan sendiri, akibatnya play-station merebak, (3) guru bukan lagi rusukan absolut, tetapi media informasi dan komunikasi yang menjadi rujukan utama, (4) cerita daerah tidak dikenal lagi, tetapi justru cerita impor yang merasuki pemikiran mereka, (5) hilangnya bahasa puitis dalam proses belajar-mengajar, karena guru kurang menguasai peribahasa, perumpamaan, pepatah, dsb., (6) pelajaran mengarang sudah tidak menjadi perioritas lagi, sehingga murid tidak mampu mengaktualisasikan pemikirannya dalam bentuk tulisan, dan (7) minimnya guru bahasa yang sekaligus mampu menguasai sastra.
Kumpulan Pantun
Pantun Berkasih
Nasi lemak buah bidara
Sayang selasih hamba lurutkan
Hilang emak hilang saudara
Karena kasih hamba turutkan
Pasir putih di pinggir kali
Pekan menyabung ayam berlaga
Kasih tak boleh dijual beli
Bukannya benda buat berniaga
Petik sayur si daun maman
Makan berulam daun pegaga
Habis tahun berganti zaman
Kasih adinda kunanti jua
Hijau nampaknya Bukit Barisan
Puncak Tanggamus dengan Singgalang
Terbang nyawa dari badan
Kasih di hati takkan hilang
Indra Giri pasirnya lumat
Kerang bercampur dengan lokan
Ibarat Nabi kasihkan umat
Begitu saya kasihkan tuan
Bunga Melati terapung-apung
Bunga rampai di dalam puan
Rindu hati tidak tertanggung
Bilakah dapat berjumpa tuan?
Burung merbuk membuat sarang
Anak enggang meniti di paya
Tembaga buruk di mata orang
Intan berkarang di hati saya
Kalau roboh 
Sayang selasih di dalam puan
Kalau sungguh bagai dikata
Rasa nak mati di pangkuan tuan
Kalau roboh Kota Melaka
Papan di Jawa saya dirikan
Kalau sungguh bagai dikata
Badan nyawa saya serahkan
Anak campuran Cina-Melaka
Pulang ke rumah di Bukit Pekan
Andai kena dengan cara
Nyawa dan badan saya berikan
Anak ruan tidak terluang
Benang sutera di dalam buluh
Hendak buang tidak terbuang
Sudah mesra di dalam tubuh
Tumbuk padi jadikan emping
Buat juadah teman sebaya
Pipit hendak bertenggek ke ranting
Sudikah enggang bertenggek sama?
Kain cindai dilipat-lipat
Lipat mari tepi perigi
Kalau pandai Tuan memikat
Burung terbang menyerah diri
Kiri jalan kanan pun jalan
Sama tengah pokok mengkudu
Kirim jangan pesan pun jangan
Sama-sama menanggung rindu
Pucuk pauh batangnya pauh
Di tengah-tengah pokok mengkudu
Adinda jauh kekanda pun jauh
Sama-sama menanggung rindu
Buah jambu disangka kandis
Kandis ada di dalam cawan
Gula madu disangka manis
Manis lagi senyuman Tuan
Sayang Musalmah pergi ke taman
Hendak memetik sekuntum bunga
Sudah ada dalam genggaman
Bilakah dapat hidup bersama?
Anak haruan berlima-lima
Mati ditimpa ponggor berdaun
Kasih cik adik saya terima
Menjadi utang beribu tahun
Sayang Laksamana mati dibunuh
Mati dibunuh Datuk Menteri
Tuan umpama minyak yang penuh
Sedikit tidak tertumpah lagi
Sayang pelanduk di luar pagar
Mati ditembak patah kakinya
Tujuh tahun gunung terbakar
Baru sekarang nampak apinya
Batang selasih permainan budak
Daun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
Seribu tahun kembali juga
Harum baunya si bunga Tanjung
Harumnya sampai puncak gunung
Tuan umpama sekaki payung
Hujan panas tempat berlindung
Tajam kapak dari beliung
Hendak menebang kayu berduri
Tuan laksana kemuncak payung
Saya di bawah menyerah diri
Hujan panas turun berderai
Guruh menyambar pohon jati
Kasih sayang tak boleh bercerai
Bagaikan rambut bersimpul mati
Hilir berderap mudik berderap
Patah galah di dalam perahu
Tuan laksana si bunga Dedap
Cantik merah tidak berbau
Orang berhuma di Pulau Balangan
Asap apinya tabun-menabun
Tuan laksana bunga kayangan
Kuntum Kasturi tangkainya embun
Kalau Tuan pergi ke Jambi
Ambil air Cik Tahir jurubatunya
Kalau Tuan hendakkan kami
Bakar air ambil abunya
Beli cempedak dari Juana
Mari dibelah di atas tudung
Jika berhajat menyunting bunga
Jumpa wali di atas gunung
Buah jering di atas para
Diambil budak bawa berlari
Kering laut tanah Melaka
Baru saya mungkirkan janji
Buih kuini jatuh tercampak
Jatuh menimpa bunga selasih
Biar bertahun dilambung ombak
Tidakku lupa pada yang kasih
Tebang gelam tebang kenanga
Batang tumbang menimpa gadung
Kumbang mengidam nak seri bunga
Bunga kembang di puncak gunung
Limau purut lebat di pangkal
Batang selasih condong uratnya
Hujan ribut dapat ditangkal
Hati kasih apa ubatnya?
Layang-layang terbang melayang
Jatuh ke laut disambar jerung
Siapa bilang saya tak sayang?
Kalau bunga rasa nak kendong
Layang layang terbang melayang
Jatuh di laut melayang layang
Siapa bilang saya tak sayang?
Siang malam terbayang bayang
Layang-layang disambar nuri
Madu kelapa dalam tempayan
Lagi tak hilang bukit Puteri
Tidak kulupa kasihmu Tuan
Langit cerah awan membiru
Dinihari embun pun jatuh
Sakit sungguh menanggung rindu
Di dalam air badan berpeluh
Indah nian bulan mengambang
Keliling pula bintang bercahaya
Wajah tuan bila ku pandang
Bagai melihat pintunya syurga
Ikan belanak di tengah muara
Daun suji di dalam puan
Tiada sanak tiada saudara
Kalau sudi terimalah Tuan
Dua tiga kucing berlari
Manakan sama si kucing belang
Dua tiga boleh kucari
Manakan sama abang seorang
Anak beruk di kayu rendang
Turun mandi di dalam paya
Huduh buruk di mata orang
Cantik manis di mata saya
Tinggi tinggi mata hari
Anak kerbau mati tertambat
Sudah lama saya mencari
Baru sekarang saya mendapat
Pucuk pauh delima batu
Anak sembilang ditapak tangan
Biar jauh beribu batu
Jauh di mata di hati jangan
Surat ku layang untuk berkata
Penyampai hasrat kata di hati
Kalaulah sungguh kasihkan saya
Jangan dibuang sampai ke mati
Kedondong batang sumpitan
Batang padi saya lurutkan
Tujuh gunung sembilan lautan
Kalau tak mati saya turutkan
Burung terbang menarik rotan
Lalu hinggap di kayu Jati
Tujuh gunung tujuh lautan
Belum dapat belum berhenti
Ke Teluk sudah ke Siam sudah
Ke Mekah saja aku yang belum
Kupeluk sudah kucium sudah
Bernikah saja aku yang belum
Di Tanjung Katung airnya biru
Disitulah tempat mencuci mata
Duduk sekampung lagikan rindu
Inikan pula jauh dimata
Laju-laju perahu laju
Lajunya sampai ke Surabaya
Lupa kain lupakan baju
Tetapi jangan lupakan saya
Kalau menyanyi perlahan-lahan
Dibawa angin terdengar jauh
Kalau hati tidak tertahan
Di dalam air badan berpeluh
Bunga Cina jambangan Cina
Bungkus inai dalam kertas
Sungguh saya bena tak bena
Di dalam hati haram tak lepas
Bunga rampai di dalam puan
Buluh perindu di atas gunung
Adakah sampai kepadamu tuan?
Rindu kekanda tidak tertangung
Ayam disabung jantan dipaut
Jika ditambat kalah laganya
Asam di darat ikan di laut
Dalam belanga bertemu jua
Angin Barat dari gunung
Berhembus lembut terlalu nyaman
Baru kelibat adik menyongsong
Kembali segar semangat di badan
Orang mengail ikan cencaru
Dapat ikan bawa ke jeti
Kalau tuan kata begitu
Barulah senang di dalam hati
Ribu-ribu pokok mengkudu
Cincin permata jatuh ke ruang
Kalau rindu sebut namaku
Airmata jangan dibuang
Dari mana punai melayang
Dari sawah turun ke padi
Dari mana datangnya sayang?
Dari mata turun ke hati
Berkurun lama pergi menjauh
Wajah kulihat di dalam mimpi
Kalau dah kasih sesama sungguh
Kering lautan tetap ku nanti
Anak buaya anak memerang
Anak biawak luka kepala
Badan merantau sakit dan senang
Pada adinda sedikit tak lupa
Kukutip bunga buat karangan
Karangan diletak di atas peti
Ingin ku sunting bunga di jambangan
Buat penyeri di taman hati
Sekapur sirih seulas pinang
Ada berkunjung budaya Melayu
Terjunjung kasih tersimpul sayang
Terikat terkurung kasih nan satu
Burung merpati terbang melayang
Singgah sebentar dipohon meranti
Rindu hatiku bukan kepalang
Wajahmu tuan termimpi-mimpi
Malam ini malam Jumaat
Pasang dian kepala titi
Tepuk bantal panggil semangat
Semangat datang di dalam mimpi
Hilang sepi diraut wajah
Usah terlerai nilainya budi
Setia janji takkan berubah
Kasih tersemai tetap abadi
Kalau tidak kelapa puan
Tidak puan kelapa bali
Kalau tidak pada tuan
Tidak tuan siapa lagi?
Pohon sena cabangnya empat
Mari tebang waktu pagi
Kalau kena dengan makrifat
Burung terbang menyerah diri
Gunung tinggi dilitupi awan
Berteduh langit malam dan siang
Bila adik mengirimkan pesan
Hancur seluruh sendi abang
Air pasang limpah ke pasar
Tanam pinang kelapa mati
Di manalah tuan belajar
Pandai mencari isyarat hati?
Tajam tubuh si buah gading
Hendaklah ikat bersama tali
Hancur luluh tulang dan daging
Namun kulupa tidak sekali
Hujan turun badan pun basah
Patah galah haluan perahu
Niat dihati tak mahu berpisah
Kehendak Allah siapa yang tahu?
Pikir memikir sama lawak
Jangan dibawa ke Tanjung Jati
Sindir menyindir sesama awak
Jangan dibawa masuk ke hati
Tuan puteri meminta cawan
Untuk diisi air kelapa
Amat tulus kasihmu Tuan
Sampai ke mati adinda tak lupa
Pantun Budi
  Dari Daik pulang ke Daik
Sehari-hari berkebun pisang
Budi baik dibalas baik
Dalam hati dikenang orang
Tanam lenggun tumbuh kelapa
Terbit bunga pucuk mati
Budi tuan saya tak lupa
Sudah terpaku di dalam hati
Tenang-tenang air laut
    Sampan kolek mudik ke tanjung
Hati terkenang mulut menyebut
    Budi baik rasa nak junjung
Kapal belayar dari Arakan 
   Ambil gaji jadi jemudi
Mati ikan karena umpan 
   Mati saya karena budi
Banyak ubi perkara ubi
    Ubi keledek ditanam orang
Banyak budi perkara budi
    Budi baik dikenang orang
Lipat kain lipat baju
    Lipat kertas dalam puan
Dari air menjadi batu
    Sedikit tak lupa budi tuan
Jentayu burung jentayu
    Hinggap di balik pokok mayang
Bunga kembang akan layu
    Budi baik bilakan hilang
 Jika belayar ke tanah Aceh
    Singgah dulu di kota Deli
Jika hendak orang mengasih
    Hendaklah baik bicara budi
Bunga melati bunga di darat
    Bunga seroja di tepi kali
Hina besi karena karat
    Hina manusia tidak berbudi
Dewa sakti melayang ke Daik
    Hendak mencari Dewa Jaruga
Kalau ada budi yang baik
    Sampai ke mati orang tak lupa
Baik-baik bertanam padi 
    Jangan sampai dimakan rusa
Baik-baik termakan budi
   Jangan sampai badan binasa
Tingkap papan kayu bersegi
    Sampan sakat di Pulau Angsa
Indah tampan karena budi  
    Tinggi darjat karena bahasa
Pulau Pandan jauh ke tengah 
   Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah 
    Budi yang baik di kenang juga
Pergi ke sawah menanam padi
    Singgah disungai menangkap ikan
Hidup hendaklah bersendikan budi
    Sifat sombong jangan amalkan
Apa guna berkain batik  
    Kalau tidak dengan sucinya?
Apa guna beristeri cantik
    Kalau tidak dengan budinya
Bunga melati bunga di darat
    Bunga seroja di tepi kali
Hina besi karena karat
    Hina manusia tidak berbudi
Pisang emas dibawa belayar 
    Masak sebiji di atas peti
Utang emas boleh dibayar
    Utang budi dibayar mati
Anak merak Kampung Cina
    Singgah berhenti kepala titi
Emas perak kebesaran dunia
    Budi bahasa tak dapat dicari
Anak angsa mati lemas
    Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
    Hilang budi karena miskin
Yang kurik tu kundi
    Yang merah saga
Yang baik itu budi
    Yang indah itu bahasa
Limau manis dimakan manis
    Manis sekali rasa isinya
Dilihat manis dipandang manis
    Manis sekali hati budinya
Cuaca gelap semakin redup
    Masakan boleh kembali terang
Budi bahasa amalan hidup
    Barulah kekal dihormati orang
Tuan Puteri membeli ginseng
    Singgah di pasar mencari kari
Jangan ikut budaya samseng
    Kelak menyesal di kemudian hari
Pantun Nasihat
  Angin teluk menyisir pantai  
    Hanyut rumpai di bawah titi
Biarlah buruk kain dipakai  
    Asal pandai mengambil hati
Pergi mendaki Gunung Daik             
   Hendak menjerat kancil dan rusa         
Bergotong-royong amalan yang baik
   Elok diamalkan setiap masa
Air melurut ke tepian mandi
    Kembang berseri bunga senduduk
Elok diturut resmi padi                  
   Semakin berisi semakin tunduk
Daun sirih ulam Cik Da      
    Makan sekapur lalu mati
Walaupun banyak ilmu di dada
    Biar merunduk resmi padi
Buah pelaga makan dikikir  
    Dibawa orang dari hulu  
Sebarang kerja hendak dipikir         
   Supaya jangan mendapat malu  
Kemumu di tengah pekan         
    Dihembus angin jatuh ke bawah
Ilmu yang tidak diamalkan  
   Bagai pohon tidak berbuah
Tumbuh melata si pokok tebu
   Pergi pasar membeli daging
Banyak harta tak ada ilmu  
   Bagai rumah tidak berdinding
Tulis surat di dalam gelap             
   Ayatnya banyak yang tidak kena
Jagalah diri jangan tersilap            
   Jikalau silap awak yang bencana
 
Hendak belayar ke Teluk Betong           
   Sambil mencuba labuhkan pukat
Bulat air karena pembetung            
   Bulat manusia karena muafakat   
 Pakai baju warna biru          
    Pergi ke sekolah pukul satu
Murid sentiasa hormatkan guru
    Karena guru pembekal ilmu
Lagu bernama serampang laut
    Ditiup angin dari Selatan   
Layar dikembang kemudi dipaut 
    Kalau tak laju binasa badan
Padi segemal kepuk di hulu  
   Sirih di hilir merekap junjungan
Kepalang duduk menuntut ilmu
   Pasir sebutir jadikan intan.
Anak-anak berkejar-kejar
   Rasa gembira bermain di sana
Kalau kita rajin belajar           
  Tentu kita akan berjaya    
Jangan pergi mandi di lombong         
   Emak dan kakak sedang mencuci
Jangan suka bercakap bohong
   Semua kawan akan membenci
Buah cempedak bentuknya bujur
    Sangat disukai oleh semua
Jika kita bersikap jujur
    Hidup kita dipandang mulia
Jikalau tuan mengangkat peti  
   Tolong masukkan segala barang
Jikalau anak-anak bersatu hati           
   Kerja yang susah menjadi senang  
Asam kandis mari dihiris           
    Manis sekali rasa isinya   
Dilihat manis dipandang manis
    Lebih manis hati budinya  
Kayu bakar dibuat arang      
   Arang dibakar memanaskan diri
Jangan mudah menyalahkan orang
    Cermin muka lihat sendiri   
Selasih tumbuh di tepi telaga  
    Selasih dimakan si anak kuda
Kasih ibu membaa ke syurga  
    Kasih saudara masa berada
Masuk hutan pakai sepatu        
    Takut kena gigitan pacat  
 Kalau kita selalu bersatu          
    Apa kerja mudah dibuat   
Bandar baru Seberang Perai     
    Gunung Daik bercabang tiga
 Hancur badan tulang berkecai   
    Budi yang baik dikenang juga 
Encik Dollah pergi ka Jambi
    Pergi pagi kembali petang
Kalau Tuhan hendak membagi   
   Pintu berkancing rezeki datang
Orang haji dari Jeddah              
    Buah kurma berlambak-lambak
Pekerjaan guru bukanlah mudah  
    Bagai kerja menolak ombak
Pinang muda dibelah dua          
    Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua          
    Ajaran baik jangan diubah 
 Terang bulan di malam sepi            
Cahya memancar kepangkal kelapa
 Hidup di dunia buatlah bakti      
    Kepada ibu dan juga bapa     
Kapal kecil jangan dibelok      
    Kalau dibelok patah tiangnya
 Budak kecil jangan di peluk      
    Kalau dipeluk patah tulangnya   
Asal kapas menjadi benang  
    Dari benang dibuat kain           
Barang yang lepas jangan dikenang    
    Sudah menjadi hak orang lain
Tengahari pergi mengail      
    Dapat seekor ikan tenggiri
 Jangan amalkan sikap bakhil  
    Akan merosak diri sendiri
Kapal Anjiman disangka hantu
    Nampak dari Kuala Acheh
Rosak iman karena nafsu      
    Rosak hati karena kasih 
  
Tingkap papan kayu bersegi       
   Sampan sakat di Pulau Angsa
Indah tampan karena budi   
   Tinggi darjat karena bahasa
Anak Siti anak yang manja   
    Suka berjalan di atas titi  
Orang yang malas hendak bekerja         
    Pasti  menyesal satu hari nanti
Bintang tujuh sinar berseri             
    Bulan purnama datang menerpa
Ajaran guru hendak ditaati          
    Mana yang dapat jangan dilupa
Parang tajam tidak berhulu  
    Buat menetak si pokok Ru
Bila belajar tekun selalu      
     Jangan ingkar nasihat guru
Hari malam gelap-gelita
   Pasang lilin jalan ke taman
Sopan santun budaya kita               
   Jadi kebanggaan zaman berzaman
 
Pergi berburu sampai ke sempadan
     Dapat Kancil badan berjalur
 Biar carik baju di badan          
     Asalkan hati bersih dan jujur
 Pulau Pandan jauh ke tengah  
     Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
    Budi yang baik di kenang juga
   
Ramai orang membeli jamu          
    Di bawah pokok cuaca redup
Bersungguh-sungguh mencari ilmu
    Ilmu dicari penyuluh hidup  
 Apa guna berkain batik           
    Kalau tidak dengan sucinya?
Apa guna beristeri cantik       
    Kalau tidak dengan budinya   
Berakit-rakit ke hulu              
    Berenang-renang ke tepian  
 Bersakit-sakit dahulu              
    Bersenang-senang kemudian
  Buah cempedak diluar pagar      
    Ambil galah tolong jolokkan
 Saya budak baru belajar          
   Kalau salah tolong tunjukkan  
Pisang emas dibawa belayar  
    Masak sebiji di atas peti
  Utang emas boleh dibayar      
    Utang budi dibawa mati
Dalam semak ada duri          
    Ayam kuning buat sarang
Orang tamak selalu rugi          
    Macam anjing dengan bayang
 Baik-baik mengirai padi          
    Takut mercik ke muka orang
 Biar pandai menjaga diri          
    Takut nanti diejek orang   
Ke hulu membuat pagar
   Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar       
    Supaya jangan sesal kemudian
Mari kita tanam halia          
    Ambil sedikit buat juadah
Usia muda jangan disia      
    Nanti tua sesal tak sudah
Padi muda jangan dilurut   
    Kalau dilurut pecah batang
Hati muda jangan diturut   
    Kalau diturut salah datang
Cuaca gelap semakin redup           
   Masakan boleh kembali terang
Budi bahasa amalan hidup             
   Barulah kekal dihormati orang
Orang Daik memacu kuda   
    Kuda dipacu deras sekali
Buat baik berpada-pada       
    Buat jahat jangan sekali 
Dayung perahu tuju haluan              
   Membawa rokok bersama rempah
Kalau ilmu tidak diamalkan
   Ibarat pokok tidak berbuah
Kalau kita menebang jati             
    Biar serpih tumbangnya jangan
Kalau kita mencari ganti  
    Biar lebih kurang jangan
Pinang muda dibelah dua  
    Anak burung mati diranggah
Dari muda sampai ke tua  
   Ajaran baik jangan diubah   
Pantai Mersing kuala Johor                 
   Pantainya bersih sangat mashyur
Pohonkan doa kita bersyukur         
  Negara kita aman dan makmur
 
Orang tua patut disegani      
    Boleh mendapat ajarnasihat
Ular yang bisa tidak begini  
    Bisa lagi lidah yang jahat
Ramai orang menggali perigi
    Ambil buluh lalu diikat  
Ilmu dicari tak akan rugi  
        Buat bekalan dunia akhirat
Tuan Haji memakai jubah                     
   Singgah sembahyang di tepi lorong
Kalau sudah kehendak Allah             
   Rezeki segenggam jadi sekarung
Patah gading serpih tanduk
    Mari diletak di atas papan
Jika tahu ganja itu mabuk
    Buat apakah ia dimakan
Anak rusa masuk ke taman         
     Puas sudah orang memburu
Kalau muda jadikan teman
     Kalau tua jadikan guru
        
Berakit ke hulu dengan bergalah 
    Buluh pecah terbelahdua
Orang tua jangan dilangkah 
   Kelak biadap dituduhnya pula
Rusa betina berbelang kaki  
     Mati terkena jerat sembat          
Orang yang muda kita sanjungi 
     Orang yang tua kita hormat
Sorong papan tarik papan
     Buah keranji dalam perahu
Suruh makan awak makan             
    Suruh mengaji awak tak mahu
Adik ke kedai membeli halia
     Emak memesan membeli laksa
Jadilah insan berhati mulia
    Baik hati berbudi bahasa
Pantun Kekecewaan
Pisau raut hilang di rimba
    Pakaian anak raja di Juddah
Karam di laut boleh ditimba
    Karam di hati bilakah sudah?
Buah berangan masaknya merah
    Kelekati dalam perahu
Luka di tangan nampak berdarah
    Luka di hati siapa tahu?
Banyaklah orang menanam pulut 
   Saya seorang menanam padi
Banyaklah orang karam di laut 
   Saya seorang karam di hati
Anak punai anak merbah
    Hinggap ditonggak mencari sarang
Anak sungai lagikan berubah
    Inikan pula hati orang
Apa diharap padi seberang
    Entahkan jadi entahkan tidak
Apa diharap kasihnya orang
    Entahkan jadi entahkan tidak 
Entahkan jadi entahkan tidak
    Entah dimakan pipit melayang
Entahkan jadi entahkan tidak
    Entah sudahkan milik orang
Cahaya bulan diliput awan
    Dipuput bayu awan berlalu
Hasrat hatiku padamu tuan
    
Dari Arab turun ke Aceh
    Naik ke Jawa berkebun serai
Apa diharap pada yang kasih
    Badan dan nyawa lagi bercerai
Selasih di Teluk Dalam  
   Datang kapas Lubuk Tempurung
Saya umpama si burung balam 
   Mata terlepas badan terkurung
Chau Pandan, anak Bubunnya
    Hendak menyerang 
Ada cincin berisi bunga
    Bunga berladung si air mata
Anak buaya terenang-renang
    Anak kunci dalam perahu
Hanya saya terkenang-kenang
    Orang benci saya tak tahu
Masuk hutan berburu musang  
     Musang mati dijerat orang
Macam mana hati tak bimbang  
    Ayam di sangkar disambar helang
Sakit menebang kayu berlubang
    Kayu hidup dimakan api
Sakit menumpang kasih orang
    Daripada hidup baiklah mati
Asal kapas menjadi benang
    Dari benang dibuat kain
Barang lepas usah dikenang
    Sudah menjadi hak yang lain
Apa guna pasang pelita
    Jika tidak dengan sumbunya
Apa guna bermain mata
    Kalau tidak dengan sungguhnya
Biji saga nampaklah merah
    Bawa segenggam pergi ke 
Hati kecewa amatlah parah
    Tidur bertilam si air mata
Dari Jawa ke Bengkahulu
    Membeli keris di Inderagiri
Kawan ketawa ramai selalu
    Kawan menangis seorang diri
Kusangka nanas di tengah 
    Rupanya pandan yang berduri
Kusangka panas hingga ke petang
    Rupanya hujan di tengah hari
Akar nibung meresap-resap
    Akar mati dalam perahu
Terbakar kampung nampak berasap
    Terbakar hati siapa yang tahu
Orang Aceh sedang sembahyang  
   Hari Jumaat tengah hari
Pergilah kasih pergilah sayang  
Pandai-pandailah menjaga diri
Seri Mersing lagulah lama
    Lagu dikarang biduan dahulu
Hatiku runsing gundah gulana
    Dimana tempat hendak mengadu? 
Sri Mersing lagulah melayu
    Dikaranglah oleh biduan dahulu
Hatiku runsing bertambah pilu
    Mengenangkan nasib yatim piatu
Apa diharap kepada tudung
    Tudung saji terendak Bentan
Apa diharap kepada untung
    Untung nasib permintaan badan
Penatlah saya menanam padi
    Nenas juga ditanam orang
Penatlah saya menanam budi
    Emas juga dipandang orang
Sirih kuning di batang pauh
    Sayang beluluk beruang-ruang
Putih kuning carilah jodoh
    Saya buruk biar terbuang
Padi jangan dicampur antah
    Melukut tinggal sekam melayang
Hatiku jangan diberi patah
    Meskipun saya dagang terbuang
Kayu cendana di atas batu
    Sudah diikat dibawa pulang
Adat di dunia memang begitu
    Benda buruk tidak dipandang
Payang retak tali bersimpul
    Kendi lokan airnya tumpah
Hidup tidak karena kaul
    Mati bukan karena sumpah
Anak ayam turun satu     
     Mati seekor habis hilang
Tiada untung modal tak tentu  
    Perahu tersadai di atas galang
Pukul gendang tiup nafiri
    Anak Keling mandi minyak
Saya umpama rumput di bumi
    Rendah sekali pada yang banyak
Orang Jawa pulang ke Jawa  
    Membawa pulang tiang bersambung
Badan terletak putuslah nyawa  
    Nyawa tidak dapat dihubung
    Buah nenas lambung-lambungan
Hendak kubawa perahunya sempit 
    Tinggal emas tinggal junjungan
Pecah belah batu di gunung
    Seri dewa berjalan malam
Ya Allah, tidak tertanggung
    Rasa tidak dikandung alam
Tidak salah bunga lembayung
    Salahnya pandan menderita
Tidak salah ibu mengandung
    Salahnya badan buruk pinta
Kalau begini tarah papan
    Ke barat juga 
Kalau begini untung badan
    Melarat juga kesudahannya
Hujan turun badan pun basah
    Patah galah haluan perahu
Niat dihati tak mahu berpisah
    Kehendak Allah siapa yang tahu?
Nyiur muda luruh setandan
    Diambil sebiji lalu dibelah
Sudah nasib permintaan badan
    Kita dibawah kehendak Allah
Tuan puteri tersadung batu
    Ambil ubat di atas para
Alangkah sedih cinta tak restu
    Jiwa merana hati sengsara
Pantun Teka-Teki
Kalau Tuan pergi ke kedai
  Belikan saya buah keranji
Kalau tuan bijak pandai
  Apa binatang keris di kaki?
Jawaban 1 : Ayam
 
 
  Bentuknya bulat daripada besi
Bila bermain diikat sekuat hati
  Dilempar hidup dipegang mati?
Jawaban 2: Gasing
 
 
Buah budi bedara mengkal
  Masak sebiji di tepi pantai
Hilang budi bicara akal
  Buah apa tidak bertangkai?
Jawaban 3: Buah Melaka
 
 
Burung nuri burung dara
  Terbang ke sisi taman kayangan
Cubalah teka wahai saudara
  Semakin diisi makin ringan?
Jawaban 4 : Belon
 
 
Bunga orkid indah warnanya
  Penyeri taman dan juga hutan
Ramai orang datang bertanya
  Bintang apa hidup di lautan?
Jawaban 5 : Tapak Sulaiman
 
 
Pak Pung Pak Mustafa
  Encik Dollah dirumahnya
  Gula Melaka jadi intinya
Jawaban 6 : Buah Melaka
 
 
Kelip-kelip kusangka api
  Kalau api mana asapnya?
Hilang ghaib disangkakan mati
  Kalau mati mana kuburnya?
Jawaban 7 : Kilat
 
 
Anak-anak bermain batu
  Batu dikira satu persatu
Badannya lurus bermata satu
  Ekornya tajam apakah itu?
Jawaban 8: Jarum
 
 
Jika tuan membeli tikar
  Tikar anyaman dari mengkuang
Kalau Tuan bijak pintar
  Ular apa membelit pinggang?
Jawaban 9: Tali Pinggang
 
 
Masak tumis sambal petai
  Makan kenyang sambil sendawa
Anda menziarah sahabat handai
  Buah apakah yang akan dibawa?
Jawaban 10: Buah Tangan
 
 
Pokoknya bulat dan juga rendang
  Masam dan hijau ketika muda
Buahnya berbentuk seperti bintang
  Sudah masak, kuninglah ia
Jawaban 11: Belimbing
 
 
Belayar perahu dari Bentan
  Menyusur tepi Selat Melaka
Lebar kepala dari badan
  Apakah ikan cubalah teka?
Jawaban 12: Ikan Pari
 
 
Mak Minah menanak minyak
  Kemenyan dibakar dengan setanggi
Dua peha beranak banyak
  Untuk mendaki tempat yang tinggi?
Jawaban 13: Tangga
 
 
Orang bekerja diberikan upah
  Hidangan disaji dalam talam
Gajah putih ditengah rumah
  Layar terkembang di waktu malam?
Jawaban 14; Kelambu
 
 
Gigi berduri tatah bersigai
  Pembelah kayu ia berguna
Jika tuan orang yang pandai
  Benda apakah makannya dua cara?
Jawaban 15: Gergaji
 
 
Jika ke kedai pergi berbelanja
  Belikan saya sudu dan senduk
Jika pandai katakan ia
  Semakin berisi semakin menunduk?
Jawaban 16: Padi
 
 
Kalau tuan pakai lencana
  Pakailah songkok di atas kepala
Kalau Tuan bijak laksana
  Binatang apakah tiada kepala?
Jawaban 17: Ketam
 
 
Pisau lipat dimainnya kera
  Tangannya luka lalu terjun
Makan kuat tidak terkira
  Kenyangnya tidak tahi bertimbun?
Jawaban 18: Api
 
 
Minah ketawa terjerit-jerit
  Melihat koyak pada seluar
Orang putih duduk sederet
  Pagar didalam tebing diluar?
Jawaban 19: Gigi
 
 
Tuan puteri belajar menari
  Tari diajar oleh Pak Harun
Kalau Tuan bijak bestari
  Apa yang naik tak pernah turun?
Jawaban 20: Umur
Teka-Teki dan Jawaban
Soalan:
Ulat daun tidur berembun
  Di pohon kelapa setiap masa
Banyak daun perkara daun
  Daun apakah dahan tiada?
Jawaban:
Banyak orang pergi ke dusun
  Dusun kaya dengan buah-buahan
Banyak daun perkara daun
  Daun terup tidak berdahan
—————————
Soalan:
Ada satu teka-teki
  Pada tuan saya bilang bagi
Kalau tuan bijak sekali
  Apa binatang tiada kaki?
Jawaban:
Jangan pikir aku anak-anak
  Aku tahu kamu punya cabar
Di tengah padang terlengkak-lengkak
  Yang tiada kaki binatang ular
———————————
Soalan:
Cendawan bulat di tepi paya
  Bawa orang dari hulu
Banyak heran di hati saya
  Kecil dia segan, besar dia tak malu?
Jawaban:
Bawa orang dari hulu
  Cendawan bulat tepi paya
Kecil segan, besar tak malu
  Itulah nama kuntum bunga.
Pantun Berkias
Anak tiung atas rambutan
Berbunyi bertongkat paruh
Berhenti kapal di lautan
Tiba angin berlayar jauh
Bukit Tinggi boleh didaki
Lurah dalam berkala-kala
Penat kaki boleh berhenti
Berat beban siapa membawa
Kampung Tengah kotanya landai
Permatang guntung ketinggian
Jangan lengah janjikan sampai
Untung-untung berkejadian
Pantun Jenaka
Lebuhraya 
    Tempat temasya dara teruna
Hodohnya ketawa orang tak bergigi
    Ibarat 
Api terang banyak kelkatu              
   Masuk ke kamar bersesak-sesak
Alangkah geli rasa hatiku              
   Melihat nenek bergincu berbedak
Ditiup angin bunga semalu  
    Kuncup daun bila berlaga
Bercakap Melayu kononnya malu          
   Belacan setongkol dibedal juga
Orang Rengat menanam betik
    Betik disiram air berlinang
 Hilang semangat penghulu itik
        Melihat ayam lumba berenang
 
Tanam jerangau di bukit tinggi
    Mati dipijak anak badak
Melihat sang bangau sakit gigi          
   Gelak terbahak penghulu katak
Singapura dilanggar todak               
    Kapal karam di Tanjung Peringin
Orang tua beristerikan budak         
    Macam beruk mendapat cermin
Bapa gergasi menebar jala
    Pegang tali melintuk-liuk
Masakan pengerusi tak garu kepala         
   Melihat ahli semua mengantuk
Gemuruh tabuh bukan kepalang
    Diasah lembing berkilat-kilat
Gementar tubuh harimau belang         
   Nampak kambing pandai bersilat
Buah salak di rumah Tok Imam
    Sirih sekapur pergi menjala
Anjing menyalak harimau demam
    Kucing di dapur pening kepala
Anak cina menggali cacing  
    Mari diisi dalam tempurung
Penjual sendiri tak kenal dacing       
   Alamat dagangan habis diborong
Biduk buluh bermuat tulang 
    Anak 
Duduk mengeluh panglima helang          
   Melihat ayam bercengkang keris 
Buah jering dari Jawa         
    Naik sigai ke atas atap    
Ikan kering lagi ketawa       
    Dengar tupai baca kitab    
Pohon manggis di tepi rawa 
    Tempat datuk tidur beradu
Sedang menangis nenek tertawa
    Melihat datuk bermain gundu
Ceduk air di dalam perigi           
    Timbanya bertangkaikan suasa
Jikalau kucing tak bergigi            
   Alamat tikus berjoget berdansa
Anak dara Datuk Tinggi      
    Buat gulai ikan tilan   
Datuk tua tak ada gigi       
    Bila makan kunyah telan
     
Berderak-derak sangkutan dacing          
   Bagaikan putus diimpit lumpang
Bergerak-gerak kumis kucing  
   Melihat tikus bawa senapang
Pokok pinang patanya condong
    Dipukul ribut berhari-hari
Kucing berenang tikus berdayung
    Ikan di laut berdiam diri
Tanam pinang di atas kubur
    Tanam bayam jauh ke tepi
Walaupun musang sedang tidur          
    Mengira ayam di dalam mimpi 
Anak bakau di rumpun salak          
    Patah taruknya ditimpa genta
Riuh kerbau tergelak-gelak          
    Melihat beruk berkaca mata 
Orang menganyam sambil duduk
    Kalau sudah bawa ke balai
Melihat ayam memakai tanduk           
    Datang musang meminta damai
Hilir lorong mudik lorong                 
    Bertongkat batang temberau
Bukan saya berkata bohong           
    Katak memikul paha kerbau
Di kedai Yahya berjual 
    Di kedai kami berjual sisir
Sang buaya melompat ke darat          
    Melihat kambing terjun ke air   
Jikalau lengang dalam negeri
    Marilah kita pergi ke 
Heran tercengang kucing berdiri
    Melihat tikus naik kereta
Senangis letak di timbangan
    Pemulut kumbang pagi-pagi
Menangis katak di kubangan
    Melihat belut terbang tinggi
Anak Hindu beli petola       
    Beli pangkur dua-dua   
Mendengar kucing berbiola
   Duduk termenung tikus tua
Punggur berdaun di atas 
    Jarak sejengkal dua jari
Musang rabun, helang pun buta
    Baru ayam suka hati     
Ketika perang dinegeri Jerman          
   Ramai askarnya mati mengamuk
Rangup gunung dikunyah kuman 
   Lautan kering dihirup nyamuk
Jual betik dengan kandil     
   Kandil buatan orang Inggeris
Melihat buaya menyandang bedil          
   Lembu dan kerbau tegak berbaris
Jemur bijan dengan kulitnya          
   Jemur di atas pohon lembayung
Hari hujan sangat lebatnya             
   Lamun Si Pandir mengepit payung
Elok rupa pohon belimbing    
    Tumbuh dekat limau lungga
Elok berbini orang sumbing    
    Walau marah ketawa juga
Rumah besar berdinding tidak
    Beratapkan daun palas
Badan besar beristeri tidak  
    Itu tandanya orang pemalas
Adik nama Comat              
    Suka beri salam        
Budak ketawa kuat            
    Suka kecing malam      
Dari Ambun hendak ke Perak
   Singgah di Jeram Mengkuang
Si Awang Kenit mencuri kerak         
   Hidung berbelang terpalit arang
Biduk lalu kiambang bertaut             
   Nakhoda Kasap duduk termenung
Gila latah ikan di laut            
   Melihat umpan di kaki gunung
Pakai seluar labuh ke bawah              
  Ikut permatang jalan melenggang
Nampak zahir memang mewah
  Tapi utang keliling pinggang
Orang Sibu menunggang kuda             
    Kuda ditunggang patah pinggang
Masih mahu mengaku muda            
    Padahal cucu keliling pinggang
Tahankan jerat gunakan tali
    Pacak kuat biar melekap
Kalau bini suka membeli             
    Utang berbaris suami ke lokap
Tuan puteri memasang panjut
       Dayang tolong menghalau lalat
Kucing tidur bangkit terkejut
       Melihat tikus pandai bersilat
Pantun Kanak-Kanak
Anak rusa nani             
   Baru kembang ekor
Apa dosa kami  
  Lalu tidak tegur
Buai laju-laju
  Sampai puncak sana
Apa dalam baju?
   Sekuntum bunga Cina
Timang tinggi-tinggi
   Sampai cucur atap
Belum tumbuh gigi
   Pandai baca kitab
Ayam kedek-kedek
    Beri makan padi
Abang sayang adik
   Mesti ajar mengaji
Burung kenek-kenek
   Hinggap bawah batang
Apa pesan nenek     
   Cepat-cepat pulang
Pok amai-amai
    Belalang kupu-kupu
Bertepuk adik pandai
    Malam nanti upah susu
Susu lemak manis
   Santan kelapa muda 
Adik jangan menangis  
        Emak banyak kerja
Air pasang pagi      
    Surut pukul lima
Bangun pagi-pagi    
    Siram pokok bunga
Pokok bunga melur  
    Tanam tepi batas
Itik dah bertelur     
        Ayam dah menetas 
Lompat si katak lompat
    Lompat dalam perigi
Cepat adik cepat        
    Pergi mandi cuci gigi
Lompat si katak lompat
    Lompat di tepi pagar
Sekolah lekas dapat     
    Dan mesti rajin belajar
Lompat si katak lompat
    Lompat di air tenang
Pergi sekolah cermat   
    Emak bapa hati senang
Lompat si katak lompat
    Lompat di rumput muda 
Belajar kuat-kuat       
    Buat ilmu hari tua    
Anak lembu merah      
    Tambat di pokok asam
Adik kena marah       
     Tarik muka masam  
Burung Kakak Tua      
    Hinggap  di jendela
Nenek sudah tua
    Giginya tingal dua
Burung Kakak Tua     
    Ada anak empat  
Nenek sudah tua       
    Jalan pakai tongkat
Burung Kakak Tua      
    Bersarang celah batu
Badan sudah tua       
   Gigi jarang sana satu
Durian atas titi            
    Pisang dalam dulang
Sukanya rasa hati   
    Abang sudah pulang
Anak kumbang jati  
    Suka korek tiang
Senang rasa hati    
    Emak sudah pulang
Geylang si paku Geylang
   Geylang si rama-rama
Pulang marilah pulang                  
   Marilah pulang bersama-sama
Ayun anak ayun      
    Ayun hujung serambi
Bangun adik bangun
   Jangan tidur tinggi hari
Oh bulan mana bintang?
    Atas puncak kayu ara
Oh tuan mana hilang?  
    Dalam dapur atas para
Buai kaduk-kaduk       
    Kaduk naik ke rimba
Panjang janggut datuk  
    Buat tali timba  
Pantun Minangkabau
Keratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Merantau bujang dahulu
Di rumah berguna belum
Ke pekan sekali ini
Entah membeli entah tidak
Entah membeli limau kapas
Berjalan sekali ini
Entah kembali entah tidak
Entah menghadang lautan lepas
Putuslah tali laying-layang
Robek kertas tentang bingkai
Hidup usah mengepalang
Tidak kaya, berani pakai
(Dt Panduko Alam, Payakumbuh)
Pantun Adat
  Lebat daun bunga tanjung           
  Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung         
  Baru terpelihara adat pesaka
Gadis Acheh berhati gundah          
  Menanti teruna menghulur tepak
Gula manis sirih menyembah  
  Adat dijunjung dipinggir tidak
Manis sungguh gula Melaka         
 Jangan dibancuh dibuat serbat
Sungguh teguh adat pusaka          
 Biar mati anak jangan mati adat
Anak teruna tiba di darat            
   Dari Makasar langsung ke Deli
Hidup di dunia biar beradat  
  Bahasa tidak dijual beli
Menanam kelapa di Pulau Bukum
   Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum          
   Hukum bersandar di Kitab Allah 
     
Buah berangan di rumpun pinang     
   Limau kasturi berdaun muda            
Kalau berkenan masuklah meminang     
  Tanda diri beradat budaya
Laksamana berbaju besi
  Masuk ke hutan melanda-landa   
Hidup berdiri dengan saksi     
  Adat berdiri dengan tanda       
Berbuah lebat pohon mempelam                
  Rasanya manis dimakan sedap
Bersebarlah adat seluruh alam              
  Adat pusaka berpedoman kitab
Ikan berenang di dalam lubuk   
    Ikan belida dadanya panjang
Adat pinang pulang ke tampuk   
    Adat sirih pulang ke gagang
Pokok pinang ditanam rapat   
   Puyuh kini berlari-lari
Samalah kita menjunjung adat             
  Tunggak budaya semai dihati
Bukan kacang sebarang kacang   
     Kacang melilit si kayu jati
Bukan datang sebarang datang              
    Datang membawa hajat di hati
Anak-anak berlari ke padang   
    Luka kaki terpijak duri
Berapa tinggi Gunung Ledang     
    Tinggi lagi harapan kami
Helang berbega Si Rajawali                
   Turun menyambar anak merbah
Dari jauh menjunjung duli             
   Sudah dekat lalu menyembah
Angin kencang turunlah badai    
    Seumur hidup cuma sekali
Tunduk kepala jatuh ke lantai           
   Jari sepuluh menjunjung duli
Gobek cantik gobek cik puan
  Sirih dikunyah menjadi sepah  
Tabik encik tabiklah tuan
  Kami datang membawa sembah
Doa mustajab selalu terkabul
   Kepada Allah kita panjatkan
Sebelum berlangsung ijab dan 
   Majlis berinai kita dulukan
Pantun Patriotik
Langkah sumbang sindirkan lantai,
   Binasa badan bicara tak kawal,
Pinggirkan ketuanan negara tergadai,
   Hilang maruah bangsa terjual.
Tanah ini Tanah Melayu,
    Pedagang datang ingin berniaga,
Serahkan budi bukan tanahmu,
    Pertahankan negara, pertahankan hak bangsa.
Pergi ke kedai tergesa-gesa
    Hendak membeli gula Melaka
Malaysia maju rakyat sentosa
    Negara aman bebas merdeka
Sesak sungguh di kaki 
    Penat berjalan sakitlah peha
Malaysia Boleh slogan bersama
    Asalkan ada daya usaha
Terketar-ketar si penjual roti
    Hendak seberang sebatang titi
Berbudi bahasa hormat menghormati
    Jadilah warga elok pekerti
Pakai TMNEt jalur lebar
   Yuran mahal tak sia-sia
Jalur Gemilang megah berkibar
   Simbol perpaduan rakyat 
Dapur kotor mahu disental
   Habis tertumpah kuah laksa
Jatidiri hendaklah kental
   Semangat waja membangunkan bangsa
Bahasa Melayu ejaan rumi
    Mula belajar di rumah lagi
Agama Islam agama rasmi
    Rukunegara wajib patuhi
Masuk hutan menembak rusa
   Nikmat rezeki Tuhan kurnia
Marilah bersama membuat jasa
   
Pantun Jalur Gemilang
Jalur Gemilang bendera bertuah
   Rakyat 
Hidup bahagia tiada resah
   Karena negara merdeka sudah
Jalur Gemilang lambang bersatu
   Merah, kuning, putih dan biru
Bulan bintang menghiasi penjuru
   Empat belas negeri menjadi padu
Di merata tempat megah berkibaran
    Lambang demokrasi dan kemerdekaan
Penuh kedaulatan dan kebebasan
    Seiring dengan semangat perpaduan
Putih dan merah suci berani
    Menyeru rakyat membangunkan negeri
Menentang musuh yg hasad dengki
    Mempertahankan negara setiap inci
Pelbagai bangsa berlainan bahasa
   Jalur gemilang menyatukan semua
Teguh, bersatu dan bekerjasama
   Tanda sepakat aman sentosa.
Pantun Peribahasa
Berakit-rakit kehulu
   Berenang-renang ke tepian
Bersakit-sakit dahulu
   Bersenang-senang kemudian
Kehulu memotong pagar
    Jangan terpotong batang durian
Cari guru tempat belajar
    Jangan jadi sesal kemudian
Kerat kerat kayu diladang
    Hendak dibuat hulu cangkul
Berapa berat mata memandang
    Barat lagi bahu memikul
Harapkan untung menggamit
    Kain dibadan didedahkan
Harapkan guruh dilangit
   Air tempayan dicurahkan
Pohon pepaya didalam semak
   Pohon manggis sebasar lengan
Kawan tertawa memang banyak
   Kawan menangis diharap jangan
Pantun Berkasih ( Pantun 8 Kerat)
Pasir bulan perahu
   Berlabuh tentang batu bara
Bergalah-galah ke tepian
   Ketika menghadapi muaranya
Kasih tuan hambalah tahu
   Ibarat orang menggenggam bara
Terus hangat dilepaskan
   Begitu tuan malah kiranya
Pantun Perpisahan
Tuai padi antara masak  
   Esok jangan layu-layuan
Intai kami antara nampak  
   Esok jangan rindu-rinduan
Kalau ada sumur di ladang
    Boleh saya menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
    Boleh kita berjumpa lagi
Hari ini menanam jagung
    Hari esok menanam serai
Hari ini kita berkampung
    Hari esok kita bersurai
Malam ini menanam jagung
    Malam esok menanam serai
Malam ini kita berkampung
    Malam esok kita bercerai
Hari ini menugal jagung
    Hari esok menugal jelai
Hari ini kita berkampung
    Hari esok kita bercerai 
Batang selasih permainan budak
    Berdaun sehelai dimakan kuda
Bercerai kasih bertalak tidak
    Seribu tahun kembali juga 
Orang Aceh sedang sembahyang
    Hari Jumaat tengah hari
Pergilah kasih pergilah sayang
    Pandai-pandailah menjaga diri 
Mana Manggung, mana Periaman
    Mana batu kiliran taji
Tinggal kampung tinggal halaman
    Tinggal tepian tempat mandi 
Bintang Barat terbit petang
    Bintang Timur terbit pagi
Jika tidak melarat panjang
    
Dari mana hendak ke mana
    Tinggi ruput dari padi
Tahun mana bulan mana
    Dapat kita berjumpa lagi? 
Dian tiga lilin pun tiga
   Tanglung tergantung rumah laksamana
Diam juga sabar pun juga
   
Tuan puteri pergi ke Rasah
    Pulang semula sebelah pagi
Kita bertemu akhirnya berpisah
    Diizin Tuhan bersua lagi
Pantun Kepahlawan
Apa guna kepuk di ladang        
    Kalau tidak berisi padi    
Apa guna berambut panjang    
    Kalau tidak berani mati     
Guruh berdentum bumi bergegar
       Ayam jaguh sedang bersabung
Jangan cakap sahaja berdegar
       Hulur senjata kita bertarung 
Limau bentan di tepi tingkap    
       Anak-anak melempar burung
Harimau di hutan lagi kutangkap   
       Inikan pula cicak mengkarung 
Pudak bukan sebarang pudak      
       Pudak tumbuh di tepi lombong
Jalak buka sebarang jalak        
       Jalak biasa menang bersabung 
Anak Cina bersampan kotak     
    Muatan sarat dengan ragi  
Biar retak bumi kupijak            
    Kamu takkan kulepaskan lagi
Hang Jebat Hang Kasturi        
    Anak-anak raja Melaka  
Jika hendak jangan dicuri        
    Mari kita bertentang mata 
Patah rotan tali bersilang        
    Batang meranti rimbun berjejal                 
Langkah pahlawan di tengah gelanggang   
    Berpantang mati sebelum ajal
Banyak batang tumbuh cendawan
     Cendawan kukur jalan ke huma
Banyak orang mengaku pahlawan
     Sambutlah pukul tikam pertama  
Putus sudah tali temberang   
      Semasa belayar di sampan kotak
Jangan berlagak jaguh yang garang
      Kepala sendiri nanti yang retak   
Apa guna padi bukit           
      Padi dibendang menabur bunga
Apa guna hati sakit           
      Mati bertikam termasyhur lama
Tebu bukannya bangkut       
     Rama-rama terbang ke kuala
Bukan kami kaki penakut       
     Berani kami korbankan nyawa
Memang pahit buah peria       
    Makanan orang pergi menjala
Jikalau mengaku taat setia  
   Bersamalah kita pertahan negara
Cik Embun orang berbidan        
    Pandai mengurut sakit kepala
Biar berkalang nyawa di badan                
     Kedaulatan negara kupertahankan jua
Kalau mengail di lubuk dangkal   
    Dapat ikan sepenuh raga
Kalau kail panjang sejengkal    
    Jangan lautan hendak diduga
Apa guna kepuk di ladang        
    Kalau tidak berisi padi    
 Apa guna keris di pinggang        
    Kalau tidak berani mati     
 Adakah perisai bertali rambut   
    Rambut dipintal akan cemara
 Adakah bisai tahu takut           
    Kami pun muda lagi perkasa 
Sampan kotak mengapa dikayuh
    Hendak belayar ke tanah seberang
Patah kepak bertongkatkan paruh                
    Pantang menyerah di tengah gelanggang
Air dalam bertambah dalam        
    Hujan di hulu belumlah teduh
Hati dendam bertambah dendam
   Dendam dahulu belumlah sembuh 
Lemaknya nasi bergulai udang   
    Lemak berbau santan kelapa
Rela kumati berputih tulang       
    Tidak kumahu berputih mata
Orang menyeberang gunakan titi
    Titi dibuat tinggi di atas   
Dalam telur lagikan dinanti       
    Inikan pula sudah menetas
Jika terjumpa ular tedung
   Carilah buluh kayu pemukul
Berani buat beranilah tanggung
   Tangan menjinjing bahu memikul 
Perahu payang layarnya merah
    Belayar menuju arah utara
Keris dipegang bersintukkan darah
    Adat pahlawan membela negara
      
Sungguh cantik bunga yang merah
    Malangnya lama tidak disirami
Kalau jasadku rebah ke tanah
    Rela aku disemadikan di sini
Telur itik dari Senggora     
    Pandan terletak dilangkahi
Darahnya titik di Singapura   
    Badannya terhantar di Langkawi
Tuan puteri pergi ke Lukut   
    Bawa pulang kacang panjang
Sedikit pun hamba tak takut
    Kalau berani turun gelanggang  
Pantun Sireh Pinang ~ Ahmad Sarju
Seiring madah pantun bersambut
   dalam senyum penghidang tamu
mesra berdakap kasih terpaut
   persilakan tamu sambut di pintu
Sambut salam sambut bersopan
   jenguk-menjenguk ajuk-mengajuk
baru kami menyebut tuan
   air didih belumlah sejuk
Dimulakan hajat setinggi gunung
   dimulakan dengan pantun pusaka
sehalus rambut sejernih kaca
   tersisip makna dalam nan agung
Dijunjung datang disambut hajat
   dulang berukir tepak peminangan
persudikan santap sirih beradat
   pusaka bangsa zaman berzaman
Kini jejaka rindu seharian
   gadis di bilik sendiri kesepian
Menunggu menimang ingatan kasih
   malam merayu ke bulan jernih
Ah! Semusim cuma yang dinanti
   gunung dikejar kemanakan lari?
~ Ahmad Sarju
Pantun Azah Aziz
Kalau tuan pergi ke bendang,
Jangan petik buah rembia,
Tuan umpama bulan mengambang,
Cahaya meliput serata dunia.
Burung merpati kepak bersilang,
Turun ke bendang makan pagi,
Simpan di peti takutkan hilang,
Baik disimpan di dalam hati.
Kalau ya selasih dandi,
Cendawan tumbuh di atas pintu,
Kalau ya kasihkan kami,
Guntingkan kami sehelai baju.
Melepuh kakiku terkena tunggul,
Tunggul besar di tengah 
Gelusuh hatiku melihat sanggul,
Sanggul besar berbunga goyang.
Pantun Klasik Melayu
Anak tiung atas rambutan
   Berbunyi bertongkat paruh
Berhenti kapal di lautan
   Tiba angin berlayar jauh
Bukit Tinggi boleh didaki
   Lurah dalam berkala-kala
Penat kaki boleh berhenti
   Berat beban siapa membawa
Kampung Tengah kotanya landai
   Permatang guntung ketinggian
Jangan lengah janjikan sampai
   Untung-untung berkejadian
Pantun Seloka
Huruf A, B, dan C                
   Jambu atas batu             
Kenapa tidak kasi                     
   Sombong macam hantu
     
Undang-undang papan         
   Surat dalam buluh
Tunang ada lapan                 
   Gundik tujuh puluh
     
Jalan-jalan sepanjang jalan                       
   Singgah-menyinggah di pagar orang
Pura-pura mencari ayam           
    Ekor mata di anak orang
Orang perempuan hendak bersegak               
   Lalu diasah kulit awak             
Jerawat penuh muka berkerak                  
   Lihat cantik dilumur bedak  
         
Gigi bertatah dengan gewang                     
   Kelip kilau nampak berjahang  
Rumah buruk lantai jarang                       
   Kalau terperlus malu kat orang 
 
Asah gigi delima merkah                 
   Kilat cahaya bagai ditatah
Kepala dogol kena belah                     
   Kain direndak kenapa tak basah?
             
Terketak bagai udang ditangguk                            
   Terlompat-lompat tertepuk-tepuk 
Tiada sedar kaki cabuk                         
   Dihurung bebari habis merobok  
     
Cantik manis putih kuning                         
    Bagai tanduk bersending gading          
Salah pandang akal dirunding                     
    Perangai pula laksana anjing
             
Tergesa-gesa balik ke kampung                       
    Pelanduk seekor tidak terkepung         
Encik bukan kera dan lontong                                 
    Ranting yang buruk hendak bergantung
         
Ada seekor burung belatuk                     
    Cari makan di kayu buruk         
Tuan umpama ayam pungguk                         
    Segan mencakar rajin mematuk
Pantun Hari Raya
Buah pauh di tengah bendang
Jadi dagangan di tengah 
Saudara jauh datang bertandang
Bermaaf-maafan sesama kita
Masak udang dan gulai ketam
Pembasuh mulut kuih keris
Berbunyi mercun berdentum-dentam
Riang gembira di Hari Raya
Sungai disusur sehari-hari
Dalam gelap menangkap ikan
Kami meyusun sepuluh jari
Salah dan silap harap maafkan
Aidilfitri hari kemaafan
Menghapus kesalahan sesama insan
Memupuk perpaduan sesama ehsan
Mengikat tali keakraban
Disisir diandam dengan cekap
Potong rambut pelbagai gaya
Puasa sebulan sudahlah lengkap
Kita menyambut Hari Raya
Adik tersayang segak bergaya
Mengait kuih di atas para
Suasana riang di Hari Raya
Bermaaf-maafan riang gembira
Pantun Budi 
Tenang-tenang air laut
    Sampan kolek mudik ke tanjung
Hati terkenang mulut menyebut
    Budi baik rasa nak junjung  
Tanam lenggun tumbuh kelapa
    Terbit bunga pucuk mati
Budi tuan saya tak lupa
    Sudah terpaku di dalam hati  
Dari Daik pulang ke Daik
    Sehari-hari berkebun pisang
Budi baik dibalas baik
    Dalam hati dikenang orang 
Kapal belayar dari Arakan
    Ambil gaji jadi jemudi
Mati ikan karena umpan
    Mati saya karena budi 
Banyak ubi perkara ubi
    Ubi keledek ditanam prang
Banyak budi perkara budi
    Budi baik dikenang orang 
Lipat kain lipat baju
    Lipat kertas dalam puan
Dari air menjadi batu
    Sedikit tak lupa budi tuan
Jentayu burung jentayu
    Hinggap di balik pokok mayang
Bunga kembang akan layu
    Budi baik bilakan hilang
 Jika belayar ke tanah Aceh
    Singgah dulu di kota Deli
Jika hendak orang mengasih
    Hendaklah baik bicara budi
Bunga melati bunga di darat
    Bunga seroja di tepi kali
Hina besi karena karat
    Hina manusia tidak berbudi
Dewa sakti melayang ke Daik
    Hendak mencari Dewa Jaruga
Kalau ada budi yang baik
    Sampai ke mati orang tak lupa
Baik-baik bertanam padi
    Jangan sampai dimakan rusa
Baik-baik termakan budi
    Jangan sampai badan binasa
Tingkap papan kayu bersegi
    Sampan sakat di Pulau Angsa
Indah tampan karena budi
    Tinggi darjat karena bahasa
Pulau Pandan jauh ke tengah
    Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan dikandung tanah
    Budi yang baik di kenang juga 
Pergi ke sawah menanam padi
    Singgah disungai menangkap ikan
Hidup hendaklah bersendikan budi
    Sifat sombong jangan amalkan 
Apa guna berkain batik
    Kalau tidak dengan sucinya?
Apa guna beristeri cantik
    Kalau tidak dengan budinya
Bunga melati bunga di darat
    Bunga seroja di tepi kali
Hina besi karena karat
    Hina manusia tidak berbudi
Pisang emas dibawa belayar
    Masak sebiji di atas peti
Utang emas boleh dibayar
    Utang budi dibayar mati
Anak merak Kampung Cina
    Singgah berhenti kepala titi
Emas perak kebesaran dunia
    Budi bahasa tak dapat dicari
Anak angsa mati lemas
    Mati lemas di air masin
Hilang bahasa karena emas
    Hilang budi karena miskin
Yang kurik tu kundi
    Yang merah saga
Yang baik itu budi
    Yang indah itu bahasa
Limau manis dimakan manis
    Manis sekali rasa isinya
Dilihat manis dipandang manis
    Manis sekali hati budinya
Cuaca gelap semakin redup
    Masakan boleh kembali terang
Budi bahasa amalan hidup
    Barulah kekal dihormati orang
Anna Abadi membeli ginseng
    Singgah di pasar mencari kari
Jangan ikut budaya samseng
    Kelak menyesal di kemudian hari
Pantun Budi 
Lebat daun bunga tanjung   
            Berbau harum bunga cempaka
Adat dijaga pusaka dijunjung
            Baru terpelihara adat pesaka   
 Gadis Acheh berhati gundah   
            Menanti teruna menghulur tepak
 Gula manis sirih menyembah   
        Adat dijunjung dipinggir tidak
Manis sungguh gula Melaka   
            Jangan dibancuh dibuat serbat 
  Sungguh teguh adat pusaka    
            Biar mati anak jangan mati adat
Anak teruna tiba di darat       
            Dari Makasar langsung ke Deli 
Hidup di dunia biar beradat    
    Bahasa tidak dijual beli   
    Menanam kelapa di Pulau Bukum
        Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
            Hukum bersandar di Kitab Allah 
          Buah berangan di rumpun pinang      
            Limau kasturi berdaun muda 
              Kalau berkenan masuklah meminang      
        Tanda diri beradat budaya
Laksamana berbaju besi        
                  Masuk ke hutan melanda-landa    
 Hidup berdiri dengan saksi      
        Adat berdiri dengan tanda
        Berbuah lebat pohon mempelam     
                Rasanya manis dimakan sedap
        Bersebarlah adat seluruh alam       
                Adat pusaka berpedoman kitab
    Ikan berenang di dalam lubuk    
            Ikan belida dadanya panjang
      Adat pinang pulang ke tampuk    
            Adat sirih pulang ke gagang   
    Pokok pinang ditanam rapat    
    Puyuh kini berlari-lari
         Samalah kita menjunjung adat      
                Tunggak budaya semai dihati   
        Bukan kacang sebarang kacang    
           Kacang melilit si kayu jati 
     Bukan datang sebarang hajat   
                Datang membawa hajat di hati
         Anak-anak berlari ke padang    
    Luka kaki terpijak duri
         Berapa tinggi Gunung Ledang      
        Tinggi lagi harapan kami  
     Helang berbega Si Rajawali      
                Turun menyambar anak merbah
 Dari jauh menjunjung duli    
                Sudah dekat lalu menyembah   
        Angin kencang turunlah badai     
            Seumur hidup cuma sekali
         Tunduk kepala jatuh ke lantai      
                Jari sepuluh menjunjung duli   
        Gobek cantik gobek cik puan       
                 Sirih dikunyah menjadi sepah   
    Tabik encik tabiklah tuan       
                    Kami datang membawa sembah     
         Doa mustajab selalu terkabul       
                Kepada Allah kita panjatkan 
                  Sebelum berlangsung ijab dan 
             Majlis berinai kita dulukan   
Pantun Agama
Sungguh indah pintu dipahat
          Burung puyuh di atas dahan
Kalau hidup hendak selamat
        Taat selalu perintah Tuhan
Halia ini tanam-tanaman   
            Ke barat juga akan rebahnya
 Dunia ini pinjam-pinjaman   
                Ke akhirat juga akan sudahnya  
                Redup bulan nampak nak hujan             
            Pasang pelita sampai berjelaga
Hidup mati di tangan Tuhan
        Tiada siapa dapat menduga
Belatuk di atas dahan       
        Terbang pergi ke lain pokok
    Hidup mati ditangan Tuhan    
            Kepada Allah kita bermohon    
   Daun tetap di atas dulang    
      Anak udang mati dituba
   Dalam kitab ada terlarang    
                    Perbuatan haram jangan dicuba     
         Terang bulan terang bercahaya   
                    Cahaya memancar ke Tanjung Jati 
    Jikalau hendak hidup bahagia 
            Beramal ibadat sebelum mati  
        Asam kandis asam gelugur        
        Ketiga asam si riang-riang
            Menangis mayat di pintu kubur      
                Teringat jasad tidak sembahyang
 Kulit lembu celup samak    
    Mari buat tapak kasut
    Harta dunia janganlah tamak
    Kalau mati tidak diikut
    Banyaklah masa antara masa
            Tidak seelok masa bersuka 
                Meninggalkan sembahyang jadi biasa  
        Tidak takut api neraka?   
    Dua tiga empat lima            
            Enam tujuh lapan sembilan
Kita hidup takkan lama    
            Jangan lupa siapkan bekalan 
Kalau Tuan pergi ke Kedah
                Singgah semalam di Kuala Muda
        Sembahyang itu perintah Tuhan
        Jika ingkar masuk neraka
    Ramai orang menggali perigi 
    Ambil buluh lalu diikat
Ilmu dicari tak akan rugi 
            Buat bekalan dunia akhirat 
Pak Kulup anak juragan   
                Mati diracun muntahkan darah
    Hidup di dunia banyak dugaan
            Kepada Allah kita berserah 
Letak bunga di atas dulang
            Sisipkan daun hiasan tepinya
            Banyak berdoa selepas sembahyang
            Mohon diampun dosa di dunia
Encik Borhan seorang kerani
        Terkemut-kemut bila meniti
            Tinggalkan sembahyang terlalu berani
            Sepertii tubuhnya takkan mati
    Sayang-sayang buah kepayang
            Buah kepayang hendak dimakan
        Manusia hanya boleh merancang 
    Kuasa Allah menentukan   
Masa berada di Pulau Jawa 
            Rakan diajak pergi menjala  
     Maha Berkuasa jangan dilupa   
            Kuasa Allah tidak terhingga  
Nyiur mudah luruh setandan
    Diambil sebiji lalu dibelah
    Sudah nasib permintaan badan
            Kita di bawah kehendak Allah 
Kemuning di dalam semak  
                Jatuh melayang ke dalam paya
    Meski ilmu setinggi tegak       
                    Tidak sembahyang apa gunanya?  
    Harimau belang turun sekawan
        Mati ditikam si janda balu
Ilmu akhirat tuntutlah tuan
                Barulah sempurna segala fardu 
    Kera di hutan terlompat-lompat
        Si pemburu memasang jerat
    Hina sungguh sifat mengumpat
        Dilaknat Allah dunia akhirat
Anak ayam turun sepuluh   
            Mati seekor tinggal sembilan
        Bangun pagi sembahyang subuh  
        Minta doa kepada Tuhan
   Anak ayam turun sembilan    
        Mati seekor tinggal lapan
    Duduk berdoa kepada Tuhan  
            Minta Allah jalan ketetapan   
   Anak ayam turun lapan        
        Mati seekor tinggal tujuh
    Duduk berdoa kepada Tuhan  
            Supaya terang jalan bersuluh 
Anak ayam turunnya lima   
        Mati seekor tinggal empat
 Turut mengikut alim ulama   
        Supaya betul jalan makrifat
Anak ayam turunnya lima   
        Mati seekor tinggal empat
  Kita hidup mesti beragama   
            Supaya hidup tidaklah sesat
Tuan Haji memakai jubah   
                        Singgah sembahyang di tengah lorong
Kalau sudah kehendak Allah
                Rezeki segenggam jadi sekarung
 Bulu merak cantik berkaca   
            Gugur sehelai ke dalam baldi 
Jika tak banyak kitab dibaca
                Jangan mengaku khatib dan kadi
    Inderagiri pasirnya lumat       
            Kepah bercampur dengan lokan
    Sedangkan nabi kasihkan umat
    Inikan pula seorang insan
Anna Abadi pergi berenang
                    Sambil berenang berdondang sayang
Jika hidup dikurnia senang  
            Jangan lupa tikar sembahyang
Pengertian Pantun
 
Pantun ialah bentuk puisi Melayu yang asli dan unik. Ia merupakan sumber khazanah dalam kehidupan masyarakat di Alam Melayu, baik dari segi pemikiran, kesenian, maupun nilai-nilai moral dan sosialnya. Akalbudi orang Melayu dapat dilihat dalam pantun yang diungkapkan secara spontan dengan begitu ringkas dan padat. Ini termasuklah kebijaksanaan dan ketangkasannya menjana makna yang dalam dan mengukir gerak hati serta lukisan rasa yang indah bersama penampilan unsur-unsur alam.
     Pantun wujud dalam pelbagai bentuk dan wajah, dari pantun dua kerat dan pantun empat kerat sehingga ke pantun berkait. Genre ini menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat Melayu, justeru diungkapkan dalam permainan kanak-kanak, dalam percintaan, upacara peminangan dan perkahwinan, nyanyian, dan upacara adapt. Pendeknya setiap tahap kehidupan manusia Melayu, yakni dari dalam buaian hingga ke alam percintaan dan hari-hari tua, dibantu dan dihiasi oleh pantun.
     Pantun merupakan sastera lisan yang lahir dan berkembang dalam kalangan masyarakat yang akrab dengan alam, dan diwarisi dari generasi ke genarasi . Apabila muncul teknologi percetakan pada akhir abad ke-19, koleksi pantun telah diterbitkan dalam pelbagai dialek Melayu, seperti Betawi, Minangkabau, Peranakan Jakarta dan Melaka, dan bahasa-bahasa seperti Ambon dan Acheh. Kini terdapat kira-kira seratus buah manuskrip pantun yang dikumpulkan di perpustakaan seperti di Jakarta, Leiden, Paris, London, dan Berlin. Kebanyakan pantun tersebut dikutip pada akhir abad ke-19 dan dimuatkan dalam pelbagai koleksi oleh sarjana dari England, Belanda, dan Jerman.
     Dapat disebutkan bahawa pantun ialah genre yang tersebar luas dan hampir sarwajagat. Di Alam Melayu, bentuk ini hidup subur dalam sekitar 30 bahasa dan dalam 35 dialek Melayu. Orang-orang Melayu diaspora pula telah membawanya hingga ke Sri Langka, Kepulauan Cocos, Surinam, dan Belanda. Kehadiran pantun di Eropah dan Amerika telah menarik perhatian penyair-penyair hingga menyebabkan timbulnya genre pantoum dalam kesusasteraan Barat mulai abad ke-19.
     Kini pantun telah berjaya menambat imaginasi dan kesarjanaan pengkaji di dalam dan di luar bidang sastera, di Alam Melayu dan juga di luarnya. Pantun terus diajar dan diselidiki di pusat-pusat Pengajian Melayu; seminar dan bengkel tentangnya juga terus diadakan.
Senandung Pengayuh
: blt di pantai sunyi
pengayuh[1]-pengayuh saling bertatap
entah bila mencumbu samudera
biarkan sampan menepi sendiri
tanpa pengayuh menjuntai mesra
sampan-sampan asyik mencumbu mesin
pengayuh yang dulu teman abadi
ditinggal di tangga gubuk di sudut
hutan bakau dijalari ketam[2] batu
tapi, saat mesin-mesin minta dituang minuman
saat subsidi dicabut sudah
sampan pun hampir talak tiga dengannya
sedang pengayuh telah jadi kayu bakar
dan
akhirnya antre di kantor pos
Sahril
Kuala Tak Berpantai
entah jauh entah pun dekat
kuala itu semakin asing
tak ada lagi dara pencari remis[3] 
tak ada lagi jejaka mengintip lokan[4]
tak jua tercium bau anyer[5] lanyau[6] muara
atau pun aroma bakau
pantai tak lagi berpasir
ombak tak lagi mencumbunya
tambak-tambak telah memoles kuala itu
dengan pancang[7]-pancang sombong
dari bakau yang dirangkas gundul
orang pun tak kuasa menuju pantai
sebab bedil selalu mengintai
karena dicurigai memanen tambak
Sahril
Taliarus
selepas kuala, layar pun dibentang
angin tenggara berhembus mesra
beting[8] pun masih terlelap
menyimpan kepah dan kerangnya
pantai telah di ujung pemandangan
taliarus[9] belum juga terlewati
batas campur antara air laut dengan air tawar
memancar biru melintang sagara
biru miliknya laut
hitam kecoklatan miliknya darat
keduanya tak mau melekat
dipisah jelas oleh taliarus
tapi biru tak lagi muncul
tercemar ulah manusia mashgul
nelayan pun tak tahu lagi di mana
batas untuk berlabuh jaring[10]
tak ada lagi petunjuk alam
angin pun tak ada aturan bertiup
layar urun dibentang
sedang mesin kehabisan bensin
yang telah tak mampu dibeli
Sahril
Menggiring Pasang
nelayan tak mampu mengeja ombak
yang selalu melukis di bianglala
saat nipah dan simali-mali terjepit tambak
rawai[11], kail, jaring tak dilabuh begitu juga jala
anak-anak tak berlari lagi di bibir pantai
berkejaran antara jilatan ombak
menghantar sampah yang habis dipakai
kisah miring pun kian merebak
di ujung pemandangan ada titik cahaya
memancar menghujam silau
sampan tak lagi berdaya
diombang gelombang menyeberang pulau
pulang dengan kating melompong
tak ada ketam, ikan, atau pun udang
untuk disiang lalu dipanggang
pergi ke laut hanya menumpuk utang
Sahril
[1] Dayung sampan yang terbuat dari kayu
[2] kepiting
[3] Sejenis kepah kecil yang dapat di dalam pasir pantai
[4] Sejenis kepah yang besar yang dapat dicari di sekitar rawa bakau di daerah pantai
[5] Amis, seperti bau ikan
[6] Lumpur halus bercampur air laut
[7] Tonggak, tiang
[8] Tanah yang timbul di sekitar muara pantai, di saat air laut surut, biasanya tempat para nelayan mencari kepah dan kerang. Beting umumnya adalah pasir bercampur lumpur.
[9] Batas antara bertemunya air muara yang bercampur dengan air tawar dengan air laut.
[10] Alat untuk menangkap ikan, udang, dll. Biasanya terdiri atas jenis ikan yang akan ditangkap. Misalnya ada jaring bawal, jaring senangin, jaring udang, dll.
[11] Alat penangkap ikan pari berupa pancing/kail