Senin, 21 Juli 2008

KALAM (Info Tentang Bahasa)

BAHASA DAN PERHATIAN PEMERINTAH

Satu Upaya Memperkukuh Jati Diri Bangsa

Oleh Sahril

(Balai Bahasa Medan)

Bahasa Indonesia, sejiwa dengan pengikrarannya dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, terbukti mampu berperan sebagai bagian embrio jati diri bangsa, alat komunikasi perjuangan, dan alat pemersatu. Bersama dengan dua butir sumpah yang lain, yaitu, “Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia,” dan “Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.” Bahasa Indonesia juga berperan sebagai penentu lahirnya negara Indonesia.

Keberadaan bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita temukan dalam Undang-undang Dasar 1945, selaku undang-undang tertinggi di negara kita, yaitu pada Bab XV, Pasal 36 yang berbunyi, “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Lalu untuk melahirkan undang-undang ataupun peraturan lainnya tentang bahasa tersebut, diperkuat dengan Pasal 36C yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan diatur dengan undang-undang.”

Setelah itu, upaya untuk membuat undang-undang tersendiri tentang bahasa memang terus diupayakan, dimulai pada saat Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 28 Oktober—2 November 1954, namun sampai sekarang belum juga terlaksana. Memang rencana undang-undang (RUU) Bahasa sudah digulirkan, selepas Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta tahun 2003. Akan tetapi, hasilnya belum juga tercipta undang-undang bahasa tersebut. Lewat perjalanan panjang dibumbui dengan masalah politik regional Indonesia, semenjak 1960-an ingin membentuk suatu ejaan yang baku yang diberi nama Ejaan Melindo atau Ejaan Melayu-Indonesia. Keinginkan itu sempat beberapa kali tertunda, akhirnya setelah pergantian pemimpin bangsa, dari orde lama ke orde baru, barulah terlaksana, tepatnya pada tahun 1972, keluarlah Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 57 Tahun 1972 tentang Peresmian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Selanjutnya berturut-turut lahir beberapa peraturan setingkat menteri tentang bahasa, di antaranya Intruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20, tanggal 28 Oktober 1991, tentang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Rangka Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kotamadya Nomor 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing.

Dari sekian peraturan yang dilahirkan, kenyataannya masalah urusan kebahasaan di Indonesia belumlah berhasil, bahkan belakangan ini ada indikasi kecenderungan lebih memperihatinkan. Hal ini diperparah dengan hadirnya era globalisasi, di mana masalah informasi begitu deras memasuki kehidupan masyarakat. Informasi ini masuk lewat pemakaian bahasa, khususnya bahasa Asing. Bukannya, bangsa kita alergi terhadap bahasa Asing, akan tetapi harus ada porsi dan aturan pemakaiannya. Janganlah kita lebih mendahulukan bahasa Asing daripada bahasa Indonesia. Kondisi lain saat ini, yaitu adanya persaingan yang ketat bangsa-bangsa di dunia di era globalisasi. Hal itu akan memudarkan identitas keindonesiaan yang kokoh membangun solidaritas keindonesiaan. Berbagai peristiwa yang cenderung memperlihatkan tindakan kurangnya pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia, terutama di media luar ruang telah menandakan kondisi keberadaan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh otonomi daerah yang seakan-akan dimaknai sebagai otonomi etnis atau suku bangsa. Pelegitimasian pada keberadaan bahasa daerah secara berlebihan telah menempatkan bahasa daerah yang menjadi identitas kedaerahan sejajar dengan kedudukan bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, rasa cinta atau sikap positif masyarakat suatu daerah terhadap bahasa Indonesia semakin memudar. Lebih jauh lagi, telah menciptakan kondisi beberapa kelompok mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada situasi-situasi formal. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam hal ini tergantikan oleh bahasa daerah komunitas setempat. Upaya yang nyata diperlukan untuk menghambat lajunya pertumbuhan sikap pengutamaan penggunaan bahasa asing dan menetralisasi semangat kedaerahan menuju keindonesiaan demi membangun kecintaan dalam mewujudkan citra Indonesia dalam kancah nasional maupun internasional.

Kegelisahan para praktisi bahasa Indonesia tentang keberadaan pemakaian bahasa di tengah masyarakat kita, akhirnya membuat Pemerintah juga harus turun tangan. Jika sebelumnya masalah urusan bahasa hanya ditangani oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta, dengan tiga UPT-nya yaitu di D.I. Yogyakarta, Bali, dan Ujungpandang, hal ini berlangsung cukup lama, terutama pada masa orde baru. Pada era reformasi, akhirnya Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berganti nama menjadi Pusat Bahasa dan sampai saat ini sudah ada 17 Balai Bahasa dan 5 Kantor Bahasa di 22 provinsi. Kehadiran balai dan kantor bahasa ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam mengurusi bahasa di daerahnya masing-masing. Memang sampai saat ini hasilnya belum signifikan. Beberapa kesulitan yang ditemui oleh Balai dan Kantor Bahasa adalah masalah sulitnya menembus institusi atau instansi yang bukan berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.

Senyampang dengan itu, melihat hambatan tersebut, akhirnya pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007, tanggal 21 Agustus 2007, tentang pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah. Permendagri ini memuat 6 Bab dan 9 pasal. Inti dari Permendagri Nomor 40 Tahun 2007 ini adalah pada Bab II, yaitu mengenai tugas kepala daerah, yang termuat dalam pasal 2, yang berbunyi, “Kepala daerah bertugas melaksanakan: a) pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa Negara di daerah; b) pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia; c) sosialisasi penggunaan bahasa Negara sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintah dan pemerintahan daerah, surat menyurat resmi/kedinasan, dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah.” Pasal 3, kepala daerah a) melakukan koordinasi antar lembaga dalam pengutamaan penggunaan bahasa Negara atas bahasa-bahasa lainnya pada berbagai forum resmi di daerah; b) menerbitkan petunjuk kepada seluruh aparatur di daerah dalam menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial, petunjuk jalan dan iklan, dengan pengutamaan penggunaan bahasa negara; c) memberikan fasilitas untuk pelestarian dan pengembangan bahasa Negara dan bahasa daerah; d) bekerja sama dengan instansi vertikal di daerah yang tugasnya melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.

Selanjutnya pada Bab IV Pemantauan dan Evaluasi, Pasal 7, ayat (2) berbunyi, “Untuk melaksanakan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk tim evaluasi yang dipimpin oleh pejabat dari unsur sekretariat daerah dibantu oleh pejabat dari satuan kerja perangkat daerah yang menangani urusan kesatuan bangsa dan politik sebagai sekretaris tim dengan beranggotakan pejabat dari unsur satuan kerja terkait dan instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.”

Melihat perhatian pemerintah di atas, seharusnya masalah kebahasaan sudah selayaknya mendapat prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sangat disayangkan sampai saat ini kondisi pemakaian bahasa Indonesia masih carut-marut. Belum adanya payung hukum yang kuat adalah alasan yang kuat pula membuat pemakaian bahasa Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya.

Lahirnya beberapa undang-undang tentang berbagai aspek kiranya belum ada yang menyinggung secara rinci tentang penggunaan bahasa Indonesia. Ambil contoh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran. Memang ada pasal yang menyinggung bahasa yaitu pada Bab IV tentang Pelaksanaan Siaran, Bagian Kedua: Bahasa Siaran, Pasal 37, yang berbunyi, “Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Di samping itu, pemakaian bahasa daerah dan asing juga diperbolehkan. Pasal 38, ayat (1) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penyelenggaraan program siaran muatan lokal dan, apabila diperlukan, untuk mendukung mata acara tertentu. Ayat (2) Bahasa asing hanya dapat digunakan sebagai bahasa pengantar sesuai dengan keperluan suatu mata acara siaran. Lalu pada Pasal 39, ayat (1) Mata acara siaran berbahasa asing dapat disiarkan dalam bahasa aslinya dan khusus untuk jasa penyiaran televisi harus diberi teks bahasa Indonesia atau secara selektif disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia sesuai dengan keperluan mata acara tertentu. Ayat (2) Sulih suara bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia dibatasi paling banyak 30% dari jumlah mata acara berbahasa asing yang disiarkan. Ayat (3) Bahasa isyarat dapat digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak tunarungu.

Pemuatan pasal tentang bahasa siaran itu, tidak diikuti dengan adanya sanksi. Hal ini dapat dilihat pada Bab VIII, Pasal 55, tentang sanksi administratif tidak ada tertera pasal 37, 38, dan 39. Begitu juga pada Bab X, Pasal 57, tentang ketentuan pidana tidak juga termuat pasal-pasal yang berhubungan dengan bahasa siaran. Fenomena ini jelas membuat posisi tawar bahasa Indonesia dalam ranah undang-undang tersebut sangat lemah.

Satu lagi, misalnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 2 ayat (4), ada 31 urusan pemerintah tetapi tidak ada tertera masalah bahasa. Adapun ke-31 urusan pemerintah itu adalah: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum; perumahan; penataan ruang; perencanaan pembangunan; perhubungan; lingkungan hidup; pertanahan; kependudukan dan catatan sipil; pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak; keluarga berencana dan keluarga sejahtera; sosial; ketenagakerjaan dan ketransmigrasian; koperasi dan usaha kecil dan menengah; penanaman modal; kebudayaan dan pariwisata; kepemudaan danolah raga; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian; pemberdayaan masyarakat dan desa; statistik; kearsipan; perpustakaan; komunikasi dan informatika; pertanian dan kerahanan pangan; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; kelautan dan perikanan; perdagangan; dan perindustrian.

Memang kalau dicari-cari mungkin ada terintegrasi pada urusan pendidikan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, dan komunikasi dan informatika. Itu kalaulah kita cari-cari kiranya masuk ke mana urusan kebahasaan tersebut. Bila Pemerintah Pusat saja tidak mencatumkan urusan kebahasaan, maka pada Pasal 7 tentang urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, Ayat (2) ada 26 urusan wajib pemerintahan daerah tidak juga mencantumkan masalah kebahasaan. Ironisnya lagi, pada Ayat (4) mengenai urusan pilihan untuk pemerintah daerah justru masalah sangat memprihatinkan, karena bila masalah bahasa ada terintegrasi dalam urusan pendidikan, maka pada urusan pilihan ini masalah pendidikan tidak tertera. Adapun urusan pilihan pemerintah daerah itu, adalah: kelautan dan perikanan; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; pariwisata; industri; perdagangan; dan ketransmigrasian.

Akan tetapi, kita masih diuntungkan dengan adanya Bab V tentang urusan pemerintahan sisa. Pasal 14, Ayat (2) berbunyi, “Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya.” Kemungkinan dengan adanya celah ini lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tersebut.

Lahirnya Permendagri tersebut diharapkan sebenarnya membuat posisi tawar dalam pembinaan bahasa Indonesia di daerah menjadi lebih kuat. Namun, sebelumnya kita jangan terlalu cepat puas. Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007, tentang Organisasi Perangkat Daerah perlu kita cermati, terutama pada posisi tawar kita. Lihat saja pada Bab V, Bagian Ketiga, Pasal 22 mengenai perumpunan urusan pemerintahan. – Kalau sebelumnya pada PP Nomor 38 Tahun 2007 kita berasumsi bahwa urusan bahasa itu mungkin terintegrasi pada urusan pendidikan; kesatuan bangsa dan politik dalam negeri; dan komunikasi dan informatika. – Ternyata pada PP Nomor 41 Tahun 2007 ini, Ayat (4) Pasal 22, justru bidang pendidikan digabung dengan pemuda dan olahraga. Bidang komunikasi dan informatika digabung dengan bidang perhubungan. Selanjutnya pada Ayat (5) bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat. Bidang perpustakaan, arsip, dan dokumentasi. Jadi di manakah kiranya bidang kebahasaan?

Kenyataan di Lapangan

Akhir-akhir ini, kalangan pendidik dan budayawan, merasa cemas terhadap masa depan bahasa Indonesia. Betapa tidak? Kenyataan, apa yang disebut penyerbuan budaya telah melanda bangsa ini dengan amat dahsyatnya. Nyaris tidak ada satu sisi kehidupan kemasyarakatan dan budaya, termasuk bahasa, yang lepas dari serbuan budaya asing. Menelusuri jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kiri kanan terpampang papan-papan nama berbahasa asing yang tak terhitung banyaknya. Begitu pula di rumah, ketika kita melihat televisi swasta atau radio, terlihat dan terdengar acara yang menggunakan bahasa Inggris. Memang ada kecenderungan kuat penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan, dan media luar ruang, telah tergantikan oleh bahasa asing, terutama Inggris. Hal itu terjadi di luar kewajaran dan bahkan dalam banyak kasus tidak pada tempatnya. Tragisnya kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. Sebut misalnya, Coffee Morning, Open House, dan semacamnya. Untuk sekadar menyebut kalimat pesta akhir tahun pun kadang-kadang mereka enggan. Mereka merasa lebih keren dengan menggunakan kalimat Year End Party dalam kartu undangan.

Di dunia usaha keberadaan bahasa Indonesia bahkan nyaris tergusur habis. Mulai dari iklan, jenis usaha, nama-nama toko hingga nama-nama pusat perbelanjaan praktis bahasa bahasa Indonesia telah digeser oleh bahasa asing. Keranjingan ini telah meluas sampai pada papan nama gedung perkantoran, pemukiman, petunjuk lalu lintas, dan tempat-tempat wisata. Sekarang ini, di pelosok-pelosok Indonesia manapun, kita akan kesukaran menemukan papan nama "Pangkas Rambut" atau "Tukang Cukur" untuk sebuah usaha jasa di bidang pemangkasan rambut. Yang akan kita temukan adalah Salon dan Barber Shop. Bahkan di sebuah pasar desa di satu daerah yang tak pernah diinjak seorang asing pun kita mudah menjumpai papan nama usaha jasa urusan rambut seperti ini, "Yety Salon": For Ladies and Gentleman. Begitu juga usaha jasa di bidang pencucian pakaian, kita nyaris tidak dapat menemukan lagi papan nama "Benatu" atau "Penatu", apalagi "Benara". Yang kita temukan di mana-mana adalah papan nama Laundry and Dry Clean.

Keranjingan menggunakan bahasa asing lebih menggila di bidang media, baik media cetak lebih-lebih media elektronik. Ada radio swasta yang seluruh acara utamanya nyaris menggunakan bahasa Inggris. Sebuah televisi swasta yang menyatakan diri sebagai televisi yang mengusung pemberitaan, terdapat lebih dari 50% dari keseluruhan acara utamanya dalam satu hari tayang menggunakan bahasa asing. Untuk sekadar mengucapkan "Ringkasan Berita" atau "Berita Singkat" saja tampaknya para penyiarnya berat. Mereka lebih ringan mengucapkan "Head Line News". Kalaupun terpaksa mengucapkan bahasa Indonesia mereka sengaja tidak difasihkan, baik dialek atau intonasianya, supaya ada kesan orang asing yang belum lama belajar bahasa Indonesia.

Sejatinya fenomena keranjingan berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.

Kecemasan itu semakin beralasan ketika semua itu menjadi kenyataan yang sebenarnya (realitas aktual atau realitas obyektif). Sebab realitas aktual sebuah masyarakat adalah realitas luaran yang padanya bahasa dan tanggapan kita merujuk. Ia adalah cerminan asli keadaan batin sebuah masyarakat; hasil dari hubungannya dengan nilai-nilai manusiawi yang bersifat batiniah yang telah menjadi pola dasar dan simbol-simbol arketipal yang dilembagakan dan telah menjadi keyakinan bersama.

Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?

Posisi Balai Bahasa di Provinsi

Secara pengembangan lembaga, kita patut bersyukur dengan adanya dibentuk atau berdirinya Balai Bahasa di 17 provinsi dan Kantor Bahasa di 5 provinsi. Pembentukan Balai atau Kantor Bahasa ini bertujuan untuk membantu pemerintahan daerah dalam pelaksanaan urusan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah di wilayah kerjanya masing-masing.

Namun sangat disayangkan, sampai saat ini kondisi pemakaian bahasa Indonesia masih carut-marut. Berdirinya Balai dan Kantor Bahasa di 22 provinsi sebenarnya sebagai satu terobosan bahwa masalah perhatian terhadap bahasa pemerintah memang telah konsern. Lalu yang perlu dipertanyakan bagaimana dengan hadirnya lembaga yang mengurusi bahasa itu sudah sejauh mana yang bisa diperbuat. Menurut pandangan penulis sampai saat ini belum maksimal, alasan klise yang selalu hadir dalam setiap pertemuan adalah masalah anggaran.

Hadirnya Balai dan Kantor Bahasa yang telah merekrut sejumlah pegawai bukankah itu sudah satu bagian dari pemakaian anggaran. Lalu gaji yang diterima oleh PNS di Balai dan Kantor Bahasa tersebut untuk apa? Apakah datang lalu pulang kerja mereka digaji. Seharusnya dengan gaji yang mereka (PNS Balai dan Kantor Bahasa) terima itulah mereka melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan bahasa di daerahnya masing-masing.

Secara organisasi Balai dan Kantor yang menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di mana secara eselon hanya menduduki eselon III-b. Jabatan struktural hanya ada dua, yaitu Kepala Balai (eselon III-b) dan Kepala Subbagian Tata Usaha (eselon IV-b). Posisi eselon ini sangat tidak menguntungkan, karena urusan kebahasaan menyangkut lintas sektoral. Secara struktural posisi Kepala Balai hanya setara dengan Sekretaris Camat, Kepala Bagian dan Kepala Bidang Rumah Sakit Umum Daerah, Kepala Bidang pada dinas dan badan di kabupaten/kota, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah kelas D. Sedangkan posisi Kepala Subbagian Tata Usaha hanya setara dengan Sekretaris Kelurahan, Kepala Seksi pada kelurahan, Kepala Subbagian pada Sekretaris Camat, dan Kepala Tata Usaha Sekolah Kejuruan.

Dengan demikian, janganlah heran apabila Kepala Balai ingin beraudiensi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota misalnya, maka yang menerima hanya sekelas Kepala Bidang atau Kepala Bagian Tata Usaha saja. Maka dengan itu, Permendagri No. 40 Tahun 2007 sudah tepat memosisikan untuk Ketua Tim Evaluasi Pengkajian, Pengembangan, dan Pembinaan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah adalah Sekretaris Daerah (eselon I-b), sedangkan sekretaris Kepala Badan/Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (eselon II-a), dibantu oleh anggotanya dari pejabat unsur satuan terkait (eselon II-a dan II-b), barulah terakhir dibantu oleh instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan (yang dalam hal ini tentulah maksudnya Balai Bahasa) sesuai dengan Pasal 7, Ayat (2). Lalu bagaimana lagi dengan posisi Kantor Bahasa (eselon IV-b) tentu lebih sulit lagi untuk berkoordinasi dengan pihak pemerintahan daerah.

Reposisi Program Kegiatan

Pusat Bahasa yang eselon I-nya adalah Sekretaris Jenderal, Departemen Pendidikan Nasional merupakan salah satu pusat yang berada di bawah Sekretaris Jenderal, Depdiknas. Dalam menggunakan anggaran, sesuai yang telah ditetapkan oleh Bappenas ditambah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007, tentang Bagan Akun Standar bahwa Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor-nya di daerah termasuk kalsifikasi berdasarkan sub-fungsi ke dalam kelompok pendidikan yang terdiri atas sepuluh sub-fungsi, dan Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor-nya menggunakan sub-fungsi kesepuluh yakni “Pendidikan lainnya” dengan klasifikasi kegiatan “Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan” dan klasifikasi sub-kegiatan “Pembinaan Bahasa Nasional”, sangatlah sulit untuk menyesuaikan program yang seakan sudah baku di lingkungan Pusat Bahasa, yaitu pengkajian, pengembangan, dan pembinaan, sebagaimana tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat-Pusat di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional, Bagian Keempat mengenai Pusat Bahasa (Pasal 56—Pasal 78).

Untuk kegiatan pengkajian, yang nota bene merupakan penelitian terhadap berbagai aspek kebahasaan dan kesastraan Indonesia dan daerah, sangat sukar untuk mengukur keluarannya baik dari segi keluaran kualitatif maupun keluaran kuantitatif. Karena sebagaimana kita ketahui, bahwa kebanyakan hasil penelitian keluarannya hanya bersifat abstrak. Sedangkan pada era sekarang ini, setiap anggaran yang digunakan atau dikeluarkan harus jelas hasilnya.

Begitu juga pada dua kegiatan lainnya, ambil misal pada subkegiatan penyuluhan. Sangat sulit untuk mengukur keberhasilannya. Memang secara kuantitatif bisa dihitung peserta yang disuluh, tetapi dampak akibat adanya penyuluhan itu sangat sulit untuk mengukurnya.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pucuk pimpinan Pusat Bahasa beserta pimpinan Balai dan Kantor Bahasa di daerah mengadakan perubahan terhadap kegiatan yang selama ini sudah dibakukan. Jika mengacu pada mata anggaran program “Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan”, kegiatan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia sudah tidak tepat. Karena keluarannya tidak sesuai dengan program yang dipakai. Seharusnya yang menjadi kegiatan prioritas dari mata anggaran program di atas ialah kegiatan mengenai pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.

Pengembangan budaya baca sudah jelas sasarannya adalah siswa, yakni bagaimana menjalankan suatu kegiatan tentang penggunaan bahasa Indonesia dapat meningkatkan budaya baca siswa. Begitu juga dengan pembinaan perpustakaan, arahnya jelas pada pengadaan buku-buku yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan di perpustakaan sekolah.

Apabila hal ini yang dijalankan, maka keluaran dari kegiatan Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya akan jelas. Sekian rupiah dikeluarkan untuk pengembangan budaya baca siswa dapat diukur dengan sekian persentase siswa yang sudah mampu menyerap atau menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan khaidah. Dampak baliknya bisa dilihat dari hasil ujian siswa khusus untuk mata pelajaran bahasa Indonesia.

Sedangkan untuk pembinaan perpustakaan, jelas ini mengarah pada pengadaan buku-buku yang berkaitan dengan kebahasaan dan kesastraan di sekolah-sekolah. Penulisan buku inilah yang harus dilakukan oleh tenaga teknis yang ada di Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya. Bagaimana penulisan buku bahasa dan sastra yang menumbuhkan budaya baca bagi siswa. Bukankah Pusat Bahasa selama ini cukup banyak mengeluarkan beasiswa untuk pendidikan lanjutan staf teknis, yaitu jenjang S2 dan S3. Sangat disayangkan, ternyata dari pengamatan penulis, umumnya staf teknis yang sudah mendapat gelar S2 ataupun S3 pada bidang bahasa ataupun sastra, justru tidak memperhatikan pada hakikat bagaimana menumbuhkan budaya baca masyarakat, malahan asyik bergelut dengan berbagai teori kebahasaan atau kesastraan yang menurut kaca mata masyarakat umum sangat sukar untuk dipahami.

Selama ini, mungkin sudah ratusan jumlah hasil penelitian bahasa dan sastra yang dilakukan oleh staf teknis Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa di daerah dengan menghabiskan anggaran mungkin sudah miliaran. Akan tetapi, hasil penelitian itu belum dapat menjawab apa yang diinginkan oleh mata anggaran program yang dipakai oleh Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya. Memang bila dilihat, hasil penelitian itu bukanlah tidak bermanfaat, namun manfaat langsungnya bagi masyarakat tidak nyata.

Sebagaimana kita ketahui sekarang ini, bahwa anggaran yang dikelola oleh suatu instansi pemerintah yang nota bene memakai uang rakyat, haruslah ada dampak langsungnya kepada masyarakat/rakyat yang memiliki anggaran itu. Ini memang merupakan tuntutan dalam sistem anggaran yang berbasis hasil. Akhirnya, bila suatu ketika pihak DPR mengaudit hasil-hasil apa yang telah dilakukan oleh Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya terhadap masyarakat/rakyat. Jika kita tidak mampu menjelaskan atau menunjukkan kepada pihak DPR, sudah tentu institusi ini akan terkena merger ataupun lebih parahnya lagi terkena likuidasi. Apa lagi tanda-tanda ke arah sana sudah menunjukkan, di antaranya dengan hadirnya Permendagri No. 40 Tahun 2007, sebenarnya adalah ancaman bagi Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa. Khususnya bagi Balai dan Kantor Bahasa.

Oleh sebab itu, jika kita tidak mau terkena dampak tersebut, sudah seharusnya dan secepatnya kita mereposisi program kegiatan.

Daftar Bacaan

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi, Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Jurnal Sosioteknologi Edisi 13 Tahun 7, April 2008 343 Pemantapan Ketahanan Nasional NKRI Melalui Pendekatan Kebahasaan

Gunarwan, Asim. 2000. “Peran Bahasa Sebagai Pemersatu Bangsa”. Bambang Kaswanti Purwo (ed). 2000. Kajian Serba Linguistik Untuk Anton Moeliono Pereksa Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Kaswanti, Bambang (ed). 2000. Kajian Serba Linguistik Untuk Anton Moeliono Pereksa

Bahasa. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D.Oka. Jakarta: UI Press.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2005. Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munsyi, Alif Danya. 2005. Bahasa Menunjukkan Bangsa. Cet.I. Jakarta: Gramedia.

Sakri, Adjat (ed). 1988. Ilmuwan dan Bahasa Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.

Sihombing, Liberty P (ed). 1994. Bahasawan Cendekia. Jakarta: PT Intermasa.

Thomas, Linda. dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

www.pk-sejahtera.org/v2/index.php?op=isi&id=3046 - 26k - Tembolok - Halaman sejenis


BAHASA INDONESIA: KEGAMANGAN KITA BERSAMA

Oleh OK. Sahril

(Balai Bahasa Medan)

Bahasa Indonesia, sejiwa dengan pengikrarannya dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi, “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”, terbukti mampu berperan sebagai bagian embrio jati diri bangsa, alat komunikasi perjuangan, dan alat pemersatu. Bersama dengan dua butir sumpah yang lainnya.

Keberadaan bahasa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita temukan dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XV, Pasal 36. Setelah itu, upaya untuk membuat undang-undang (UU) tersendiri tentang bahasa terus diupayakan, dimulai pada saat Kongres Bahasa Indonesia II di Medan, 28 Oktober—2 November 1954, namun sampai sekarang belum juga terlaksana. Memang rencana undang-undang (RUU) Bahasa sudah digulirkan, selepas Kongres Bahasa Indonesia VIII di Jakarta 2003. Akan tetapi, hasilnya belum jelas. Lewat perjalanan panjang dibumbui dengan masalah politik regional Indonesia, semenjak 1960-an ingin membentuk suatu ejaan yang baku yang diberi nama Ejaan Melindo atau Ejaan Melayu-Indonesia. Keinginkan itu sempat beberapa kali tertunda, akhirnya pada masa orde baru, barulah terlaksana, dengan keluarnya Kepres Nomor 57 Tahun 1972 tentang Peresmian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Selanjutnya berturut-turut lahir beberapa peraturan setingkat menteri tentang bahasa, di antaranya Intruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 20, tanggal 28 Oktober 1991, tentang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Rangka Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Instruksi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha Pemasyarakatan Bahasa Indonesia dalam Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Surat Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kotamadya Nomor 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing.

Dari sekian peraturan yang dilahirkan, kenyataannya masalah urusan kebahasaan di Indonesia belumlah berhasil, bahkan belakangan ini ada indikasi kecenderungan lebih memperihatinkan. Hal ini diperparah dengan hadirnya era globalisasi, di mana masalah informasi begitu deras memasuki kehidupan masyarakat. Informasi ini masuk lewat pemakaian bahasa, khususnya bahasa Asing. Bukannya, bangsa kita alergi terhadap bahasa Asing, akan tetapi harus ada porsi dan aturan pemakaiannya. Janganlah kita lebih mendahulukan bahasa Asing daripada bahasa Indonesia. Kondisi lain saat ini, yaitu adanya persaingan yang ketat bangsa-bangsa di dunia di era globalisasi. Hal itu akan memudarkan identitas keindonesiaan yang kokoh membangun solidaritas keindonesiaan. Berbagai peristiwa yang cenderung memperlihatkan tindakan kurangnya pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia, terutama di media luar ruang telah menandakan kondisi keberadaan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh otonomi daerah yang seakan-akan dimaknai sebagai otonomi etnis atau suku bangsa. Pelegitimasian pada keberadaan bahasa daerah secara berlebihan telah menempatkan bahasa daerah yang menjadi identitas kedaerahan sejajar dengan kedudukan bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, rasa cinta atau sikap positif masyarakat suatu daerah terhadap bahasa Indonesia semakin memudar. Lebih jauh lagi, telah menciptakan kondisi beberapa kelompok mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pada situasi-situasi formal. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam hal ini tergantikan oleh bahasa daerah komunitas setempat. Upaya yang nyata diperlukan untuk menghambat lajunya pertumbuhan sikap pengutamaan penggunaan bahasa asing dan menetralisasi semangat kedaerahan menuju keindonesiaan demi membangun kecintaan dalam mewujudkan citra Indonesia dalam kancah nasional maupun internasional.

Kegelisahan para praktisi bahasa Indonesia tentang keberadaan pemakaian bahasa di tengah masyarakat kita, akhirnya membuat Pemerintah juga harus turun tangan. Jika sebelumnya masalah urusan bahasa hanya ditangani oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa di Jakarta. Pada era reformasi, berubah nama menjadi Pusat Bahasa dan sampai saat ini sudah ada 17 Balai Bahasa dan 5 Kantor Bahasa di 22 provinsi. Kehadiran balai dan kantor bahasa ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam mengurusi bahasa di daerahnya masing-masing. Memang sampai saat ini hasilnya belum signifikan. Beberapa kesulitan yang ditemui oleh Balai dan Kantor Bahasa adalah masalah sulitnya menembus institusi atau instansi yang bukan berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional.

Senyampang dengan itu, melihat hambatan tersebut, akhirnya pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007, tanggal 21 Agustus 2007, tentang pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah. Permendagri ini memuat 6 Bab dan 9 pasal. Inti dari Permendagri Nomor 40 Tahun 2007 ini adalah pada Bab II, yaitu mengenai tugas kepala daerah, yang termuat dalam pasal 2, yang berbunyi, “Kepala daerah bertugas melaksanakan: a) pelestarian dan pengutamaan penggunaan bahasa Negara di daerah; b) pelestarian dan pengembangan bahasa daerah sebagai unsur kekayaan budaya dan sebagai sumber utama pembentuk kosakata bahasa Indonesia; c) sosialisasi penggunaan bahasa Negara sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikan/belajar mengajar, forum pertemuan resmi pemerintah dan pemerintahan daerah, surat menyurat resmi/kedinasan, dan dalam kegiatan lembaga/badan usaha swasta serta organisasi kemasyarakatan di daerah.” Pasal 3, kepala daerah a) melakukan koordinasi antar lembaga dalam pengutamaan penggunaan bahasa Negara atas bahasa-bahasa lainnya pada berbagai forum resmi di daerah; b) menerbitkan petunjuk kepada seluruh aparatur di daerah dalam menertibkan penggunaan bahasa di ruang publik, termasuk papan nama instansi/lembaga/badan usaha/badan sosial, petunjuk jalan dan iklan, dengan pengutamaan penggunaan bahasa negara; c) memberikan fasilitas untuk pelestarian dan pengembangan bahasa Negara dan bahasa daerah; d) bekerja sama dengan instansi vertikal di daerah yang tugasnya melakukan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.

Selanjutnya pada Bab IV Pemantauan dan Evaluasi, Pasal 7, ayat (2) berbunyi, “Untuk melaksanakan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur membentuk tim evaluasi yang dipimpin oleh pejabat dari unsur sekretariat daerah dibantu oleh pejabat dari satuan kerja perangkat daerah yang menangani urusan kesatuan bangsa dan politik sebagai sekretaris tim dengan beranggotakan pejabat dari unsur satuan kerja terkait dan instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan.”

Melihat perhatian pemerintah di atas, seharusnya masalah kebahasaan sudah selayaknya mendapat prioritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, sangat disayangkan sampai saat ini kondisi pemakaian bahasa Indonesia masih carut-marut. Belum adanya payung hukum yang kuat adalah alasan yang kuat pula membuat pemakaian bahasa Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya.

Lahirnya beberapa UU tentang berbagai aspek kiranya belum ada yang menyinggung secara rinci tentang penggunaan bahasa Indonesia. Ambil contoh UU No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran. Memang ada pasal yang menyinggung bahasa yaitu pada Bab IV tentang Pelaksanaan Siaran, Bagian Kedua: Bahasa Siaran, Pasal 37, yang berbunyi, “Bahasa pengantar utama dalam penyelenggaraan program siaran harus bahasa Indonesia yang baik dan benar.” Pemuatan pasal tentang bahasa siaran itu, tidak diikuti dengan adanya sanksi. Hal ini dapat dilihat pada Bab VIII, Pasal 55, tentang sanksi administratif, Bab X, Pasal 57, tentang ketentuan pidana tidak ada tertera pasal 37. Ini jelas membuat posisi tawar bahasa Indonesia dalam ranah UU tersebut sangat lemah.

Satu lagi, misalnya pada PP No. 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 2 ayat (4), ada 31 urusan pemerintah tetapi tidak ada tertera masalah bahasa. Memang kalau dicari-cari mungkin ada terintegrasi pada urusan pendidikan.

Akan tetapi, kita masih diuntungkan dengan adanya Bab V tentang urusan pemerintahan sisa. Pasal 14, Ayat (2) berbunyi, “Dalam hal pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP ini terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya.” Kemungkinan dengan adanya celah inilah lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tersebut.

Posisi Balai Bahasa di Provinsi

Pembentukan Balai atau Kantor Bahasa di daerah bertujuan untuk membantu pemerintahan daerah dalam pelaksanaan urusan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah di wilayah kerjanya masing-masing.

Secara organisasi Balai dan Kantor yang menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 62/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Organisasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) di mana secara eselon hanya menduduki eselon III-b. Jabatan struktural hanya ada dua, yaitu Kepala Balai (eselon III-b) dan Kepala Subbagian Tata Usaha (eselon IV-b). Posisi eselon ini sangat tidak menguntungkan, karena urusan kebahasaan menyangkut lintas sektoral. Secara struktural posisi Kepala Balai hanya setara dengan Sekretaris Camat, Kepala Bagian dan Kepala Bidang Rumah Sakit Umum Daerah, Kepala Bidang pada dinas dan badan di kabupaten/kota, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah kelas D. Sedangkan posisi Kepala Subbagian Tata Usaha hanya setara dengan Sekretaris Kelurahan, Kepala Seksi pada kelurahan, Kepala Subbagian pada Sekretaris Camat, dan Kepala Tata Usaha Sekolah Kejuruan.

Dengan demikian, janganlah heran apabila Kepala Balai ingin beraudiensi dengan dinas pendidikan kabupaten/kota misalnya, maka yang menerima hanya sekelas Kepala Bidang atau Kepala Bagian Tata Usaha saja. Maka dengan itu, Permendagri No. 40 Tahun 2007 sudah tepat memosisikan untuk Ketua Tim Evaluasi Pengkajian, Pengembangan, dan Pembinaan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah adalah Sekretaris Daerah (eselon I-b), sedangkan sekretaris Kepala Badan/Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (eselon II-a), dibantu oleh anggotanya dari pejabat unsur satuan terkait (eselon II-a dan II-b), barulah terakhir dibantu oleh instansi vertikal yang menangani kajian, pengembangan, dan pembinaan kebahasaan sesuai dengan Pasal 7, Ayat (2). Lalu bagaimana lagi dengan posisi Kantor Bahasa (eselon IV-b) tentu lebih sulit lagi untuk berkoordinasi dengan pihak pemerintahan daerah.

Kenyataan di Lapangan

Akhir-akhir ini, kalangan pendidik dan budayawan, merasa cemas terhadap masa depan bahasa Indonesia. Betapa tidak? Kenyataan, apa yang disebut penyerbuan budaya telah melanda bangsa ini dengan amat dahsyatnya. Nyaris tidak ada satu sisi kehidupan kemasyarakatan dan budaya, termasuk bahasa, yang lepas dari serbuan budaya asing. Menelusuri jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kiri kanan terpampang papan-papan nama berbahasa asing yang tak terhitung banyaknya. Begitu pula di rumah, ketika kita melihat televisi swasta atau radio, terlihat dan terdengar acara yang menggunakan bahasa Inggris. Memang ada kecenderungan kuat penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan, dan media luar ruang, telah tergantikan oleh bahasa asing, terutama Inggris. Hal itu terjadi di luar kewajaran dan bahkan dalam banyak kasus tidak pada tempatnya. Tragisnya kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris.

Di dunia usaha keberadaan bahasa Indonesia bahkan nyaris tergusur habis. Mulai dari iklan, jenis usaha, nama-nama toko hingga nama-nama pusat perbelanjaan praktis bahasa bahasa Indonesia telah digeser oleh bahasa asing. Keranjingan ini telah meluas sampai pada papan nama gedung perkantoran, pemukiman, petunjuk lalu lintas, dan tempat-tempat wisata.

Sejatinya fenomena keranjingan berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.

Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Begitulah memang karakter bangsa kita. Semoga ke depan ada perubahan.

Bahasa Indonesia, Antara Modernisasi dan Jati Diri

Catatan Sahril

(dari berbagai sumber)

Seiring dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama, dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan, sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis antara komunikator dan komunikan. Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah tafsir.

Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap mampu menunjukkan jati dirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan bangsa dikhawatirkan akan menggerus jati diri bangsa yang selama ini kita banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia sebagai bagian jati diri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.

Ketiga, bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek. Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jati dirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan bahasa-bahasa lain di dunia? Masih setia dan banggakah para penuturnya untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana komunikasi?

Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dan kepedulian kita untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak antimodernisasi. Bahasa kita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?

Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua sebab yang cukup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya, ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.

Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, seperti Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya tidak pernah “laku”. Persoalan kebahasaan seolah-olah hanya menjadi urusan para pakar, pemerhati, dan pencinata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi kaku dan tidak komunikatif.

Opini tersebut diperparah dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya. Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak “berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.

Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya sebagai “tangan panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas, bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media (cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.

Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman makna antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksakan. Kecenderungan masyarakat yang sering menggunakan istilah asing, baik dalam ragam lisan maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang. Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif. Dengan kata lain, modernisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa negara.

Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan taat asas terhadap kaidah yang berlaku.

Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk mencetak generasi yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual. Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif. Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan fasilitas berbahasa yang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.

Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata, maupun sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media alternatif dengan memberikan teladan berbahasa yang benar setelah para orang tua gagal menjadi “patron” dan anutan.

Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.

Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang modern, tetapi tetap menjadi jati diri dari sebuah bangsa yang beradab dan berbudaya.

Menjamurnya Istilah Asing

Orang asing jika melafalkan nama Presiden Yudhoyono dengan You do you know. Tapi si bule dapat bingung jika kita beri tahu bahwa kediaman pribadi sang presiden dekat Salzburg, Florence, Monaco, Barcelona, Amsterdam, Den Haag, Raffles Hills, Acropolis, Spinx, Vancouver, San Francisco, Beverly Hills, Eldorado, Orlando, dan Georgia. Boleh jadi, ia akan bertanya-tanya: ''Kok, kaya amat presiden yang baru gencar kampanye antikorupsi ini?'' Ia akan tambah bingung jika alih-alih menjawab pertanyaan itu, kita memberi tahu bahwa sang presiden pada akhir pekan tinggal berdekatan dengan Van Gogh, Vivaldi, Marcopolo, Cleopatra, Rembrandt, dan Galileo.

Sekarang ini di Jakarta atau Bogor, nama-nama kota besar, bangunan-bangunan bersejarah, dan tokoh-tokoh dunia tersebut terdapat di Kota Wisata dan Legenda Wisata, kompleks perumahan indah dan mewah tidak jauh dari Puri Cikeas, kediaman pribadi Pak SBY, di sebelah selatan Cibubur, Jakarta Timur. Mereka digunakan untuk nama blok-blok rumah, nama jalan, tempat pemberhentian bus, taman, dan fasilitas umum.

Jika ingin berbelanja di Cibubur Junction atau latihan main golf di Cibubur Driving Range. Atau ingin sekalian makan di Warung Sate Cikeas Hot Plate, yang terletak di samping jalan masuk Puri Cikeas?

Berdirinya bangunan-bangunan dalam beragam arsitektur dan nama-nama yang serba luar negeri, barangkali Cibubur, Cikeas, dan desa-desa sekitarnya kini telah menjadi global village atau desa global. Luar biasa, begitu cepatnya berubah wajah desa-desa yang dulu penghasil buah rambutan, pisang, dan petai itu. Yang mencolok dipandang mata, bahkan menyilaukan, adalah berbagai macam spanduk dan umbul-umbul yang mencolok dengan tulisan dalam bahasa Inggris yang tampak seperti ingin berlomba merebut perhatian.

Luar biasa kekuatan pengaruh budaya global yang dibawa para pemodal. Mereka masuk, merangsek, dan mendominasi lanskap desa-desa yang sekitar 20 tahun lalu masih tergolong tradisional. Berada di kawasan itu, orang bisa merasa bak di sebuah negeri antah-berantah. Yang juga luar biasa adalah keberanian para pemodal itu membangun berbagai fasilitas serba wah dengan nama-nama serba asing di kawasan yang sering dilalui, minimal sepekan dua kali, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang namanya menyiratkan kekukuhan mempertahankan nilai-nilai tradisional (Jawa) dan nasional Indonesia.

Apa mereka tidak khawatir bila tiba-tiba Presiden SBY ingat dan membuka buku Pedoman Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, edisi kedua, tahun 2003? Buku, yang pertama kali terbit Mei 1995 itu memuat kata dan ungkapan asing berikut padanan Indonesianya untuk delapan bidang usaha, yakni 1) bisnis dan keuangan, 2) pariwisata, 3) olahraga, 4) properti, 5) perhubungan, 6) industri, 7) kecantikan perlengkapan pribadi, dan 8) informasi dan elektronika.

Tahun 1995, di zaman Orde Baru, ada gerakan pengindonesiaan nama-nama bangunan megah seperti bank, hotel, dan pusat perbelanjaan. Memang ada kesan pengindonesiaan itu masih setengah-setengah. Misalnya, kata grand hanya diganti dengan gran (tanpa d), mall dengan mal, dan villa dengan vila. Kini tampak tidak ada pedoman apa pun untuk menggunakan nama-nama asing, seperti junction dan town square.

Buku pedoman itu, antara lain, menyebutkan bahwa badan usaha atau bangunan yang menggunakan nama asing, nama lokal mesti disebut dulu, baru nama asingnya. Misalnya, Balai Sidang Jakarta, baru di bawahnya Jakarta Convention Center, atau Tepian Danau Bogor, di bawahnya Bogor Lakeside. Kini semuanya tampak ''semau gue'', amburadul, acak-acakan, campur aduk antara bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dialek Jakarta, bahasa Inggris, dan bahasa asing lain. Misal, di dekat Cibubur Junction terdapat spanduk berbunyi ''Nyok kite bangun Jakarte...!'' Bahasa pergaulan resmi, dan lebih-lebih lagi yang tidak resmi, akhir-akhir ini dinamai Indonenglish (Indonesia campur aduk dengan bahasa Inggris).

Menelusuri jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kiri kanan terpampang papan-papan nama berbahasa asing yang tak terhitung banyaknya. Begitu pula di rumah, ketika kita melihat televisi swasta atau radio, terlihat dan terdengar acara yang menggunakan bahasa Inggris. Memang ada kecenderungan kuat penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan, dan media luar ruang, telah tergantikan oleh bahasa asing, terutama Inggris. Hal itu terjadi di luar kewajaran dan bahkan dalam banyak kasus tidak pada tempatnya. Tragisnya kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. Sebut misalnya, Coffee Morning, Open House, dan semacamnya. Untuk sekedar menyebut kalimat pesta akhir tahun pun kadang-kadang mereka enggan. Mereka merasa lebih keren dengan menggunakan kalimat Year End Party dalam kartu undangan.

Di dunia usaha keberadaan bahasa Indonesia bahkan nyaris tergusur habis. Mulai dari iklan, jenis usaha, nama-nama toko hingga nama-nama pusat perbelanjaan praktis bahasa bahasa Indonesia telah digeser oleh bahasa asing. Keranjingan ini telah meluas sampai pada papan nama gedung perkantoran, pemukiman, petunjuk lalu lintas, dan tempat-tempat wisata. Sekarang ini, di pelosok-pelosok Indonesia manapun, kita akan kesukaran menemukan papan nama "Pangkas Rambut" atau "Tukang Cukur" untuk sebuah usaha jasa di bidang pemangkasan rambut. Yang akan kita temukan adalah Salon dan Barber Shop. Bahkan di sebuah pasar desa di satu daerah yang tak pernah diinjak seorang asing pun kita mudah menjumpai papan nama usaha jasa urusan rambut seperti ini, "Yety Salon": For Ladies and Gentleman. Begitu juga usaha jasa di bidang pencucian pakaian, kita nyaris tidak dapat menemukan lagi papan nama "Benatu" atau "Penatu", apalagi "Benara". Yang kita temukan di mana-mana adalah papan nama Laundry and Dry Clean.

Keranjingan menggunakan bahasa asing lebih menggila di bidang media, baik media cetak lebih-lebih media elektronik. Ada radio swasta yang seluruh acara utamanya nyaris menggunakan bahasa Inggris. Sebuah televisi swasta yang menyatakan diri sebagai televisi yang mengusung pemberitaan, terdapat lebih dari 50% dari keseluruhan acara utamanya dalam satu hari tayang menggunakan bahasa asing. Untuk sekedar mengaucapkan "Ringkasan Berita" atau "Berita Singkat" saja tampaknya para penyiarnya berat. Mereka lebih ringan mengucapkan "Head Line News". Kalaupun terpaksa mengucapkan bahasa Indonesia mereka sengaja tidak difasihkan, baik dialek atau intonesianya, supaya ada kesan orang asing yang belum lama belajar bahasa Indonesia.

Seseorang bahkan mampu menggerutu dengan 90% kata-kata yang digunakannya berasal dari bahasa asing. "Oh, my God! Boring juga hidup di Metropolis City dengan rutinitas begini. Maunya on time di Metropolitan Medical Centre untuk check up dan konsultasi hipertensi ke spesialis internis sesuai appointment. Tapi minta ampun traffic jam di jalan, gara-gara traffic light di under pass sedang off. Lewat fly over macet juga. Soalnya signal lightnya sedang tidak berfungsi. Akibatnya jalan cuma one way. Mana driver lagi kurang fit. Lagi pula, sudah dua tahun busway dan monorelnya belum juga ready. Mana belum sempat ke Money Changer lagi. Padahal setelah dari Medical Centre ada rencana ke fitness centre untuk refreshing dan massage. Damn, jadi batal deh. Padahal badan harus fresh. Sebab jam 11.00 harus on time, meeting di Business Centre dengan company partner asing. Bisa-bisa appointment untuk transaksi proyek town house batal. Mana manager marketingnya strick lagi. Wah, kayanya semua appointment dan planning harus diarrange kembali schedulenya supaya tidak kehilangan oportunity."

Sebagai Jati Diri Budaya Bangsa

Kenyataan, setiap bangsa memiliki jati diri budayanya yang khas yang antara lain tampil dalam bahasa yang digunakannya. Sedangkan sebuah jati diri budaya mencerminkan nilai-nilai otentik yang diyakini oleh sebuah bangsa. Jati diri inilah yang membedakan bangsa tertentu dengan bangsa-bangsa lainnya.

Jati diri budaya umumnya lahir dari interkasi bangsa dengan nilai-nilai (etik dan estetik) yang menjadi pemandu dan sekaligus pengarti hidupnya dalam menghadapi tantangan eksternal yang menghadangnya. Jati diri budaya suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan (eksistensi) bangsa tersebut. Oleh sebab itu mempertahankan jati diri budaya sebuah bangsa sama dengan mempertahankan eksistensinya.

Bahasa sebagai jati diri budaya mustahil dapat dipisahkan dari budaya. Oleh karena itu performan seseorang dan sebuah masyarakat atau suatu bangsa sejatinya menunjukkan hakikat budayanya. Begitu juga sebaliknya, budaya suatu bangsa akan merefleksi dalam perilaku lahiriah manusia dan masyarakatnya. Maka bahasa yang digunakan oleh sebuah masyarakat dalam suatu bangsa menjadi cermin budayanya. Bahkan entitas dan kualitasnya ditentukan oleh kemampuannya dalam melestarikan Jati diri dan mengembangkan budayanya dalam menuju pengembangan watak atau kepribadian bangsa.

Mengacu kepada maraknya penggunaan bahasa asing secara liar yang nyaris memusnahkan bahasa Indonesia yang telah menjadi jati diri budaya kita, maka dapat dikatakan jati diri budaya bangsa Indonesia kini berada dalam situasi krisis. Para budayawan umumnya menyimpulkan bahwa krisis budaya yang kita hadapi merupakan resultante dua kekuatan, yakni integratif dan alienasi. Setidak-tidaknya dalam hal kebahasaan, kita tidak mampu menahan arus budaya global yang daya cengkeram dan daya depaknya begitu kuat. Di satu sisi bahasa Indonesia diintegrasikan dengan bahasa global dan di sisi lain terjadi alienisasi besar-besar terhadap nilai-nilai dan identitas kita dari pentas publik.

Apa yang dialami bangsa Indonesia dalam kaitan nasib bahasanya merupakan akbibat langsung dari serangan pemikiran (Al-Ghazwul-Fikri), sebuah gerakan yang mendesak bahasa negeri-negeri yang diserbu dengan bahasa kaum penyerbu. Kemudian bahasa penyerbu ini menduduki posisi bahasa yang diserbu dan mengalienasinya dengan jalan antara lain menghidupkan dialek-dialek pasaran atau daerah. Padahal tanpa bahasa manusia tidak akan mampu berpikir. Karena itu pelumpuhan bahasa suatu bangsa berarti pelumpuhan pemikiran bangsa tersebut.

Pemaksaan penggunaan bahasa penyerbu untuk menggantikan bahasa bangsa yang diserbu berarti pemaksaan terhadap bangsa tersebut supaya berpikir seperti bangsa penyerbu. Ini juga berarti memaksa supaya memandang budaya, tradisi, dan adat istiadat seperti pandangan bangsa penyerbu. Kenyataan kaum penyerbu tidak pernah membiarkan bahasa-bahasa lain hidup dan berkembang. Mereka dengan penuh ambisi dan keserakahan terus menerus memerangi bahasa kita agar terus menerus berada dalam kelumpuhan total.


Y(o)udoyo(u)(k)no(w)

Susilo Bambang Yudhoyono (Yahoo! News/REUTERS/Lee Jae-Won)BINGUNG? Sudah pasti. Siapa yang tidak bingung ketika mendengar bule Amerika bercerita bahwa ia ingin berjumpa Gas Dar setelah sebelumnya mengunjungi kota Bendang? Saat ditanya siapa yang dimaksud dengan Gas Dar, bule itu dengan penuh percaya diri menjelaskan bahwa Gas Dar adalah mantan Presiden Republik Indonesia. Oo, ternyata yang dimaksud adalah Gus Dur.

Memang, jika orang terbiasa dengan pengucapan dalam bahasa Inggris dan belum kenal pengucapan kata bahasa Indonesia, Gus akan diucapkan Gas. Lalu, kota Bendang yang dimaksud adalah Bandung. Memang kata ''dung'' dalam bahasa Inggris, yang artinya kotoran hewan, dilafalkan ''dang''.

Karena itu, jangan terlalu bingung jika ada orang asing melafalkan nama Presiden Yudhoyono dengan You do you know. Tapi si bule dapat bingung jika kita beritahu bahwa kediaman pribadi sang presiden dekat Salzburg, Florence, Monaco, Barcelona, Amsterdam, Den Haag, Raffles Hills, Acropolis, Spinx, Vancouver, San Francisco, Beverly Hills, Eldorado, Orlando, dan Georgia. Boleh jadi, ia akan bertanya-tanya: ''Kok, kaya amat presiden yang baru gencar kampanye antikorupsi ini?'' Ia akan tambah bingung jika alih-alih menjawab pertanyaan itu, kita memberitahu bahwa sang presiden pada akhir pekan tinggal berdekatan dengan Van Gogh, Vivaldi, Marcopolo, Cleopatra, Rembrandt, dan Galileo.

Sebagai orang Indonesia, apalagi jika tinggal di Jakarta atau Bogor, Anda tidak perlu ikut bingung. Nama-nama kota besar, bangunan-bangunan bersejarah, dan tokoh-tokoh dunia tersebut terdapat di Kota Wisata dan Legenda Wisata, kompleks perumahan indah dan mewah tidak jauh dari Puri Cikeas, kediaman pribadi Pak SBY, di sebelah selatan Cibubur, Jakarta Timur. Mereka digunakan untuk nama blok-blok rumah, nama jalan, tempat pemberhentian bus, taman, dan fasilitas umum.

Tidak percaya? Silakan lihat sendiri, apalagi jika Anda juga ingin berbelanja di Cibubur Junction atau latihan main golf di Cibubur Driving Range. Atau ingin sekalian makan di Warung Sate Cikeas Hot Plate, yang terletak di samping jalan masuk Puri Cikeas?

Berdirinya bangunan-bangunan dalam beragam arsitektur dan nama-nama yang serba luar negeri, barangkali Cibubur, Cikeas, dan desa-desa sekitarnya kini telah menjadi global village atau desa global. Luar biasa, begitu cepatnya berubah wajah desa-desa yang dulu penghasil buah rambutan, pisang, dan petai itu. Yang mencolok dipandang mata, bahkan menyilaukan, adalah berbagai macam spanduk dan umbul-umbul yang mencolok dengan tulisan dalam bahasa Inggris yang tampak seperti ingin berlomba merebut perhatian.

Indonenglish
Luar biasa kekuatan pengaruh budaya global yang dibawa para pemodal. Mereka masuk, merangsek, dan mendominasi lanskap desa-desa yang sekitar 20 tahun lalu masih tergolong tradisional. Berada di kawasan itu, orang bisa merasa bak di sebuah negeri antah-berantah. Yang juga luar biasa adalah keberanian para pemodal itu membangun berbagai fasilitas serba wah dengan nama-nama serba asing di kawasan yang sering dilalui, minimal sepekan dua kali, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang namanya menyiratkan kekukuhan mempertahankan nilai-nilai tradisional (Jawa) dan nasional Indonesia.

Apa mereka tidak khawatir bila tiba-tiba Presiden SBY ingat dan membuka buku Pedoman Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing terbitan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, edisi kedua, tahun 2003? Buku, yang pertama kali terbit Mei 1995 itu memuat kata dan ungkapan asing berikut padanan Indonesianya untuk delapan bidang usaha, yakni 1) bisnis dan keuangan, 2) pariwisata, 3) olahraga, 4) properti, 5) perhubungan, 6) industri, 7) kecantikan perlengkapan pribadi, dan 8) informasi dan elektronika.

Tahun 1995, di zaman Orde Baru, ada gerakan pengindonesiaan nama-nama bangunan megah seperti bank, hotel, dan pusat perbelanjaan. Memang ada kesan pengindonesiaan itu masih setengah-setengah. Misalnya, kata grand hanya diganti dengan gran (tanpa d), mall dengan mal, dan villa dengan vila. Kini tampak tidak ada pedoman apa pun untuk menggunakan nama-nama asing, seperti junction dan town square.

Tatkala sejumlah sesepuh pendiri republik ini sedang sibuk menyemaikan jati diri bangsa, dan kita baru saja memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-77, perlu kita memperhatikan munculnya bak jamur di musim penghujan kawasan-kawasan permukiman dan industri yang mempergunakan istilah atau kata-kata asing itu. Itu jika kita konsisten ingin memiliki integritas nasional sebagai bangsa.

Buku pedoman itu, antara lain, menyebutkan bahwa badan usaha atau bangunan yang menggunakan nama asing, nama lokal mesti disebut dulu, baru nama asingnya. Misalnya, Balai Sidang Jakarta, baru di bawahnya Jakarta Convention Center, atau Tepian Danau Bogor, di bawahnya Bogor Lakeside. Kini semuanya tampak ''semau gue'', amburadul, acak-acakan, campur aduk antara bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dialek Jakarta, bahasa Inggris, dan bahasa asing lain. Misal, di dekat Cibubur Junction terdapat spanduk berbunyi ''Nyok kite bangun Jakarte...!'' Bahasa pergaulan resmi, dan lebih-lebih lagi yang tidak resmi, akhir-akhir ini dinamai Indonenglish (Indonesia campur aduk dengan bahasa Inggris).

Bisa dimaklumi bila penduduk negeri ini, terutama yang berpendidikan rendah, terbengong-bengong tidak mengerti bahasa para petinggi negeri yang banyak disiarkan media massa secara apa adanya atau tidak disunting. Banyak juga pedagang kecil yang ikut-ikutan. Misalnya, dulu ada tulisan di depan sebuah restoran kecil, entah keliru atau disengaja, yang berbunyi sedia ''satay prawan''. Mungkin maksudnya ''prawn satay'' alias sate udang, bukan sate prawan. Pak SBY, sebagai panutan, Anda harus membenahi lingkungan sekitar Anda.
Itu cocok lho dengan nama Anda, menurut lidah bule: ''You do you know''.

Parni Hadi
Dirut RRI, anggota Badan Pertimbangan Pusat Bahasa
[Kolom, Gatra Nomor 1 Beredar Senin, 14 November 2005]


Mendesak Undang-Undang Kebahasaan

Fraksi-PKS Online: Akhir-akhir ini, kalangan pendidik dan budayawan, merasa cemas terhadap masa depan bahasa Indonesia. Betapa tidak? Kenyataan, apa yang disebut penyerbuan budaya telah melanda bangsa ini dengan amat dahsyatnya. Nyaris tidak ada satu sisi kehidupan kemasyarakatan dan budaya, termasuk bahasa, yang lepas dari serbuan budaya asing.

Akhir-akhir ini, kalangan pendidik dan budayawan, merasa cemas terhadap masa depan bahasa Indonesia. Betapa tidak? Kenyataan, apa yang disebut penyerbuan budaya telah melanda bangsa ini dengan amat dahsyatnya. Nyaris tidak ada satu sisi kehidupan kemasyarakatan dan budaya, termasuk bahasa, yang lepas dari serbuan budaya asing. Menelusuri jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kiri kanan terpampang papan-papan nama berbahasa asing yang tak terhitung banyaknya. Begitu pula di rumah, ketika kita melihat televisi swasta atau radio, terlihat dan terdengar acara yang menggunakan bahasa Inggris. Memang ada kecenderungan kuat penggunaan bahasa Indonesia pada media massa, media iklan, dan media luar ruang, telah tergantikan oleh bahasa asing, terutama Inggris. Hal itu terjadi di luar kewajaran dan bahkan dalam banyak kasus tidak pada tempatnya. Tragisnya kalangan pejabat negara pun tidak segan membuat acara-acara dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. Sebut misalnya, Coffee Morning, Open House, dan semacamnya. Untuk sekedar menyebut kalimat pesta akhir tahun pun kadang-kadang mereka enggan. Mereka merasa lebih keren dengan menggunakan kalimat Year End Party dalam kartu undangan.

Di dunia usaha keberadaan bahasa Indonesia bahkan nyaris tergusur habis. Mulai dari iklan, jenis usaha, nama-nama toko hingga nama-nama pusat perbelanjaan praktis bahasa bahasa Indonesia telah digeser oleh bahasa asing. Keranjingan ini telah meluas sampai pada papan nama gedung perkantoran, pemukiman, petunjuk lalu lintas, dan tempat-tempat wisata. Sekarang ini, di pelosok-pelosok Indonesia manapun, kita akan kesukaran menemukan papan nama "Pangkas Rambut" atau "Tukang Cukur" untuk sebuah usaha jasa di bidang pemangkasan rambut. Yang akan kita temukan adalah Salon dan Barber Shop. Bahkan di sebuah pasar desa di satu daerah yang tak pernah diinjak seorang asing pun kita mudah menjumpai papan nama usaha jasa urusan rambut seperti ini, "Yety Salon": For Ladies and Gentleman. Begitu juga usaha jasa di bidang pencucian pakaian, kita nyaris tidak dapat menemukan lagi papan nama "Benatu" atau "Penatu", apalagi "Benara". Yang kita temukan di mana-mana adalah papan nama Laundry and Dry Clean.

Keranjingan menggunakan bahasa asing lebih menggila di bidang media, baik media cetak lebih-lebih media elektronik. Ada radio swasta yang seluruh acara utamanya nyaris menggunakan bahasa Inggris. Sebuah televisi swasta yang menyatakan diri sebagai televisi yang mengusung pemberitaan, terdapat lebih dari 50% dari keseluruhan acara utamanya dalam satu hari tayang menggunakan bahasa asing. Untuk sekedar mengaucapkan "Ringkasan Berita" atau "Berita Singkat" saja tampaknya para penyiarnya berat. Mereka lebih ringan mengucapkan "Head Line News". Kalaupun terpaksa mengucapkan bahasa Indonesia mereka sengaja tidak difasihkan, baik dialek atau intonesianya, supaya ada kesan orang asing yang belum lama belajar bahasa Indonesia.

Seorang teman saya bahkan mampu menggerutu dengan 90% kata-kata yang digunakannya berasal dari bahasa asing. "Oh, my God! Boring juga hidup di Metropolis City dengan rutinitas begini. Maunya on time di Metropolitan Medical Centre untuk check up dan konsultasi hipertensi ke spesialis internis sesuai appointment. Tapi minta ampun traffic jam di jalan, gara-gara traffic light di under pass sedang off. Lewat fly over macet juga. Soalnya signal lightnya sedang tidak berfungsi. Akibatnya jalan cuma one way. Mana driver lagi kurang fit. Lagi pula, sudah dua tahun busway dan monorelnya belum juga ready. Mana belum sempat ke Money Changer lagi. Padahal setelah dari Medical Centre ada rencana ke fitness centre untuk refreshing dan massage. Damn, jadi batal deh. Padahal badan harus fresh. Sebab jam 11.00 harus on time, meeting di Business Centre dengan company partner asing. Bisa-bisa appointment untuk transaksi proyek town house batal. Mana manager marketingnya strick lagi. Wah, kayanya semua appointment dan planning harus diarrange kembali schedulenya supaya tidak kehilangan oportunity."

Sejatinya fenomena keranjingan berbahasa asing di pertemuan-pertemuan resmi, di media massa, dan di tempat-tempat umum yang marak sekarang ini menunjukkan adanya perubahan perilaku masyarakat kita dalam bertindak dan berbahasa. Memang kita tidak menolak perubahan selama tidak mencederai falsafah hidup dan jati diri bangsa kita. Namun pada kenyataannya perilaku berbahasa saat ini diikuti kecenderungan yang mengkhawatirkan dalam perilaku bertindak dan identifikasi diri bangsa. Kecenderungan mengidentifikasikan diri pada budaya dan pola perilaku asing yang belum tentu membawa kemajuan peradaban telah mengikis perlahan-lahan identitas bangsa Indonesia dengan nilai-nilai budaya luhurnya.

Kecemasan itu semakin beralasan ketika semua itu menjadi kenyataan yang sebenarnya (realitas aktual atau realitas obyektif). Sebab realitas aktual sebuah masyarakat adalah realitas luaran (external) yang padanya bahasa dan tanggapan (perception) kita merujuk. Ia adalah cerminan asli (otentik) keadaan batin sebuah masyarakat; hasil dari hubungannya dengan nilai-nilai manusiawi yang bersifat batiniah yang telah menjadi pola dasar dan simbol-simbol arketipal yang dilembagakan dan telah menjadi keyakinan bersama.

Dengan sangat lugas realitas aktual tampil mewakili kondisi batin sebuah masyarakat; sebuah kondisi yang menyangkut keyakinan akan nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Oleh sebab itu keranjingan menggunakan bahasa asing yang begitu menjadi-jadi dan ketidakmampuan bangsa Indonesia untuk menahan arus penyerbuan budaya, yang ditandai antara lain oleh suramnya masa depan bahasa Indonesia, dapat dikatakan sebagai musibah budaya. Hal itu sekaligus menggambarkan kondisi mental bangsa Indonesia yang merasa tidak memiliki identitas dan kekayaan budaya yang berharga pada dirinya sehingga perlu mengadopsi milik bangsa lain yang dianggap berharga. Bahkan bangsa ini merasa malu untuk menampilkan kekayaan budayanya di hadapan bangsa-bangsa lain. Menganggap bahasa sendiri sebagai kampungan, tidak profitable, dan tidak komersil. Hal demikian jelas menunjukkan kondisi psikologis yang mencerminkan bangsa yang terserang inferiority complex.

Bahasa dan Budaya

Dalam kehidupan manusia, bahasa sebagai sistem perlambang atau simbol, bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyertai proses berpikir manusia dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun imajinatif. Sebagai alat komunikasi, bahasa dipakai orang untuk melahirkan pikiran dan perasaannya. Selain itu, bahasa juga menjadi alat yang menyertai dan membentuk proses berpikir. Maka secara praktis bahasa menjadi alat dalam mengolah dan menyampaikan gagasan melalui aktivitas komunikasi.

Selanjutnya, kegiatan berbahasa memiliki fungsi semantis tertentu yang butir-butirnya antara lain wujud dalam pemilihan kata, penataan kalimat, dan wacana yang harus tepat. Mengingat kegiatan kebahasaan memiliki fungsi semantik, maka di dalam bahsa atau kata terkandung apa yang disebut makna. Makna sebuah kata, dalam kegiatan kebahasaan, sering diartikan sebagai arti, maksud, atau panggilan yang diberikan kepada sesuatu bentuk kebahasaan.

Selain alat komunikasi seperti diungkap diatas bahasa juga tidak dapat dipisahkan dengan budaya suatu bangsa. Para ahli kebudayaan umumnya memandang setidak-tidaknya ada 3 hal yang memastikan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan budaya, yaitu (1) bahasa adalah bagian dari budaya, (2) bahasa adalah indeks budaya, dan (3) bahasa menjadi simbol budaya. Oleh karena itu para antropolog budaya menilai terjadinya pergeseran makna budaya dapat menimbulkan pergeseran fokus, dari konsepsi-konsepsi yang mementingkan peran bahasa sebagai sistem formal abstraksi kategori-kategori budaya ke strategi-strategi linguistik yang dipakai membangun status, identitas, dan hubungan-hubungan sosial.

Bahasa sebagai bagian dari budaya dapat dirujuk pada kenyataan bahwa sebagian besar perilaku manusia dilingkupi bahasa. Nyaris tak ada perilaku manusia yang tidak melibatkan bahasa. Bahasa sebagai indeks budaya dapat dilihat dari perannya sebagai bagian dari budaya. Bahasa menyingkap cara berpikir dan cara mengorganisasi pengalaman dalam sebuah budaya. Sedangkan bahasa sebagai simbol kebudayaan dapat diamati melalui kenyataan bahwa bahasa merupakan sistem simbol yang paling lengkap. Oleh sebab itulah bahasa tertentu sekaligus menjadi simbol etnokultur.

Sebagai Jatidiri Budaya Bangsa

Kenyataan, setiap bangsa memiliki jatidiri budayanya yang khas yang antara lain tampil dalam bahasa yang digunakannya. Sedangkan sebuah jatidiri budaya mencerminkan nilai-nilai otentik yang diyakini oleh sebuah bangsa. Jatidiri inilah yang membedakan bangsa tertentu dengan bangsa-bangsa lainnya.

Jatidiri budaya umumnya lahir dari interkasi bangsa dengan nilai-nilai (etik dan estetik) yang menjadi pemandu dan sekaligus pengarti hidupnya dalam menghadapi tantangan eksternal yang menghadangnya. Jatidiri budaya suatu bangsa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan (eksistensi) bangsa tersebut. Oleh sebab itu mempertahankan jatidiri budaya sebuah bangsa sama dengan mempertahankan eksistensinya. Secara tepat Rasulullah SAW melukiskan muslim yang terperangkap ke dalam budaya asing sebagai telah "masuk lubang biawak."

Bahasa sebagai jatidiri budaya mustahil dapat dipisahkan dari budaya. Oleh karena itu performan seseorang dan sebuah masyarakat atau suatu bangsa sejatinya menunjukkan hakikat budayanya. Begitu juga sebaliknya, budaya suatu bangsa akan merefleksi dalam perilaku lahiriah manusia dan masyarakatnya. Maka bahasa yang digunakan oleh sebuah masyarakat dalam suatu bangsa menjadi cermin budayanya. Bahkan entitas dan kualitasnya ditentukan oleh kemampuannya dalam melestarikan jatidiri dan mengembangkan budayanya dalam menuju pengembangan watak atau kepribadian bangsa.

Mengacu kepada maraknya penggunaan bahasa asing secara liar yang nyaris memusnahkan bahasa Indonesia yang telah menjadi jatidiri budaya kita, maka dapat dikatakan jatidiri budaya bangsa Indonesia kini berada dalam situasi krisis. Para budayawan umumnya menyimpulkan bahwa krisis budaya yang kita hadapi merupakan resultante dua kekuatan, yakni integratif dan alienasi. Setidak-tidaknya dalam hal kebahasaan, kita tidak mampu menahan arus budaya global yang daya cengkeram dan daya depaknya begitu kuat. Di satu sisi bahasa Indonesia diintegrasikan dengan bahasa global dan di sisi lain terjadi alienisasi besar-besar terhadap nilai-nilai dan identitas kita dari pentas publik.

Apa yang dialami bangsa Indonesia dalam kaitan nasib bahasanya merupakan akbibat langsung dari serangan pemikiran (Al-Ghazwul-Fikri), sebuah gerakan yang mendesak bahasa negeri-negeri yang diserbu dengan bahasa kaum penyerbu. Kemudian bahasa penyerbu ini menduduki posisi bahasa yang diserbu dan mengalienasinya dengan jalan antara lain menghidupkan dialek-dialek pasaran atau daerah. Padahal tanpa bahasa manusia tidak akan mampu berpikir. Karena itu pelumpuhan bahasa suatu bangsa berarti pelumpuhan pemikiran bangsa tersebut.

Pemaksaan penggunaan bahasa penyerbu untuk menggantikan bahasa bangsa yang diserbu berarti pemaksaan terhadap bangsa tersebut supaya berfikir seperti bangsa penyerbu. Ini jjuga berarti memaksa supaya memandang budaya, tradisi, dan adat istiadat seperti pandangan bangsa penyerbu. Kenyataan kaum penyerbu tidak pernah membiarkan bahasa-bahasa lain hidup dan berkembang. Mereka dengan penuh ambisi dan keserakahan terus menerus memerangi bahasa kita agar terus menerus berada dalam kelumpuhan total.

Bagian dari Strategi Kebudayaan.

Tampaknya kenyataan-kenyataan itu telah menggugah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk aktif dalam upaya mencegah kepunahan bahasa Indonesia, yaitu dengan menyusun RUU Kebahasaan. Memang di era globalisasi ini tak ada pilihan lain kecuali harus mengedepankan bahasa Indonesia dalam ruang keseharian dan ruang umum agar tidak terpelanting dari pentas peradaban. Sebab kenyataan menunjukkan, di negeri ini tengah berlangsung interaksi kebahasaan yang sangat kompleks, antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing, antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah, dan antara bahasa daerah tertentu dengan bahasa daerah lainnya, yang memerlukan aturan yang pasti.

Selanjutnya melalui Pusat Bahasa, Depdiknas telah mengambil langkah konkret dengan menyusun RUU Kebahasaan. Suatu langkah strategis yang patut kita apresiasi dan dukung. Tentu sajar salah satu sasarannya adalah mempertahankan jati diri bangsa dan sekaligus mengembangkan warisan budaya. Maka diharapkan dalam RUU itu apa yang disebut kekayaan kebudayaan dalam bidang kebahasaan memperoleh apresiasi yang layak. Mengingat dalam Pasal 32 UUD 1945 ditegaskan bahwa kemajuan kebudayaan nasional merupakan tanggungjawab negara. "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan budayanya."

Melalui RUU itulah diharapkan ke depan bangsa Indonesia yang kaya dengan khazanah budayanya dapat turut memberikan kontribusi dalam pembentukan peradaban. Maka seyogyanya dalam RUU tersebut bahasa Indonesia sebagai jatidiri bangsa diungkap lebih gamblang.

Tidak dapat dipungkiri, kehadiran RUU Kebahasaan merupakan kebutuhan mendesak bangsa. Sebab ia akan menjadi landasan hukum dalam pemeliharaan, perlindungan, pelestarian, dan pengembangan bahasa daerah, serta pengembangan dan pembinaan bahasa nasional kita. Selain itu, adanya UU Kebahasaan akan menjadi landasan bagi peningkatan mutu penggunaan bahasa asing secara proporsional.

Jika RUU tersebut berhasil diundangkan, maka dapat dipastikan posisi Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara akan semakin kokoh. Di sisi lain, Indonesia akan dapat melestarikan lambang jati dirinya di tengah-tengah pergaulan internasional yang nyaris tanpa batas.

Mengingat bahasa Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan bangsa Indonesia, maka alangkah baiknya kalau penyusunan RUU tersebut juga melibatkan Departemen Budpar. Sebab, Departmen Budpar adalah departmen yang menangani langsung masalah kebebudayaan.

Hal mendasar lainnya ialah penyusunannya harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi kebudayaan. Namun sayangnya kita belum memiliki undang-undang kebudayaan yang dapat menjadi induk semua jenis undang-undang yang berkaitan dengan kebudayaan, seperti undang-undang bahasa, perfileman, hak cipta, dan lain semacamnya.

Mengapa harus diletakkan sebagai bagian dari strategi kebudyaaan? Sebab nilai bahasa selain terletak pada makna yang disimbolkannya, juga menjadi rujukan budaya nasional.Tambahan, kenyataannya orang-orang asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan bahasa daerah pada umumnya dalam kaitan mempelajari budaya daripada bahasanya itu sendiri.[]

Menyambut Seminar dan Sidang Mabbim

35 Tahun Kerja Sama Kebahasaan RI-Malaysia

Mustakim

PPada 1960-an pernah disusun sebuah ejaan baru yang diberi nama Ejaan Melindo atau Ejaan Melayu-Indonesia. Ejaan itu merupakan hasil kerja sama kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia. Menurut rencana, ejaan itu akan digunakan bersama di kedua negara. Namun, rencana itu gagal karena kemudian terjadi ketidakharmonisan hubungan antara Indonesia dan Malaysia. Ejaan Malindo pun urung diberlakukan.

Di Indonesia, dokumen ejaan tersebut kemudian disempurnakan lagi, sehingga menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, yang diresmikan penggunaannya oleh Presiden Republik Indonesia pada 16 Agustus 1972.

Itulah sekilas awal kerja sama kebahasaan antara Indonesia dan Malaysia. Beberapa tahun kemudian, setelah hubungan kedua negara membaik, kerja sama itu pun dilanjutkan kembali. Terjalinnya kembali kerja sama kebahasaan kedua negara bermula dari kunjungan Menteri Pelajaran Kerajaan Malaysia Hussein Onn ke Indonesia pada 1972. Dalam kunjungan itu, Menteri Pelajaran Kerajaan Malaysia mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Mashuri. Pertemuan itu menghasilkan Komunike Bersama kedua negara, yang ditandatangani pada 23 Mei 1972.

Pada intinya, Komunike Bersama itu berisi kesepakatan untuk melanjutkan kembali kerja sama kebahasaan kedua negara. Tujuannya, antara lain, untuk melakukan usaha bersama dalam mengembangkan bahasa nasional di negara masing-masing, yang meliputi ejaan, istilah, dan tata bahasa. Kedua pihak pun sepakat membentuk panitia bersama pada 29 Desember 1972, yang kemudian diberi nama Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MBIM). Sejak itu persidangan dilakukan setiap tahun dengan tempat bergiliran.

Pada 1985, keanggotaan MBIM bertambah dengan masuknya Brunei Drussalam. Namanya pun kemudian diubah menjadi Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) dalam persidangan di Jakarta pada 4 November 1985. Sementara itu, negara "Melayu" yang lain, Singapura, sampai saat ini masih menjadi pemerhati/peninjau, belum menjadi anggota tetap meskipun ikut aktif mengikuti persidangan.

Hasil Mabbim

Hingga saat ini kiprah Mabbim dalam bidang kebahasaan telah melampaui usianya yang ke-35 tahun, 29 Desember 2007. Selama 35 tahun itu, apa yang telah dihasilkan Mabbim? Masyarakat agaknya belum banyak yang mengetahuinya.

Gema Mabbim memang tampaknya belum sebesar Kongres Bahasa Indonesia, kegiatan lima tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa. Meskipun telah berkiprah selama 35 tahun dan melibatkan para pakar dari berbagai bidang ilmu, hasil Mabbim belum banyak diketahui oleh masyarakat, apalagi digunakan dalam bidang tugas masing-masing. Hal itu terjadi karena penyebarluasan informasi tentang Mabbim dan kegiatan yang dilakukannya belum maksimal. Di samping itu, pemasyarakatan hasil Mabbim tampaknya belum dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat penggunanya.

Mabbim sejatinya telah menghasilkan ratusan ribu istilah dari berbagai bidang ilmu, seperti fisika, matematika, kimia, biologi, politik, ekonomi, dan puluhan bidang ilmu yang lain. Menurut sumber dari Pusat Bahasa, istilah yang telah dihasilkan oleh Mabbim sudah mencapai 350.000. Beberapa di antaranya telah dibukukan dalam bentuk glosarium, seperti Glosarium Fisika, Matematika, Biologi, dan bidang-bidang ilmu yang lain. Bahkan, sebagian yang lain-sekitar 182.000 istilah-telah dimasukkan ke dalam dunia maya (internet) yang dapat diakses oleh masyarakat dari berbagai penjuru. Glosarium tersebut dapat ditemukan pada alamat www.pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/index.php.

Mengapa istilah? Hal itu tampaknya memang merupakan bidang garapan yang dominan dilakukan oleh Mabbim meskipun ada juga bidang lain, seperti, penerjemahan dan penerbitan. Pemfokusan perhatian pada istilah tampaknya didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pengembangan bahasa, pemerkayaan kosakata dan istilah menjadi kebutuhan yang paling utama. Hal itu karena dalam perkembangan kehidupan masa kini konsep-konsep baru selalu muncul. Ketika konsep-konsep baru-yang umumnya berasal dari bahasa asing-itu akan diungkapkan dalam komunikasi bahasa Indonesia, tentu diperlukan wadah yang berupa kosakata atau istilah untuk "membungkusnya". Sayangnya, pencarian padanan kosakata atau istilah dalam bahasa Indonesia tidak mudah dan memerlukan proses yang cukup panjang.

Dewasa ini, seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, kosakata dan istilah dalam suatu bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia, harus selalu diperkaya atau ditambah. Kalau tidak, bahasa sebagai sarana komunikasi dapat tertinggal dari perkembangan masyarakat. Jika hal itu terjadi bahasa dapat kehilangan fungsinya sebagai sarana komunikasi.

Dengan penalaran seperti itu, istilah-istilah asing yang muncul dari berbagai bidang ilmu diinventarisasi dan diklasifikasi menurut bidang ilmu masing-masing. Selanjutnya, istilah-istilah asing itu dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, atau bahasa serumpun. Pemadanan tersebut dilakukan oleh tim pakar, yang terdiri atas pakar bahasa dan pakar dalam bidang ilmu yang bersangkutan. Jika padanan dalam bahasa Indonesia telah ditemukan dan disenaraikan, dalam persidangan pakar Mabbim antarbangsa, padanan tersebut diselaraskan dengan padanan dalam bahasa Melayu yang telah dihasilkan oleh tim pakar dari Brunei Darussalam dan Malaysia. Tujuannya adalah menemukan istilah yang sama untuk disepakati sebagai padanan istilah asing tertentu yang akan digunakan, baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Melayu.

Satu hal yang menarik dalam persidangan seperti itu adalah adanya kesepakatan untuk menggunakan istilah yang sama sabagai padanan istilah asing tertentu. Tetapi, ada pula kesepakatan untuk menggunakan istilah yang berbeda sebagai padanan istilah asing yang sama.

Pada tahun ini kerja sama dalam bidang kebahasaan, termasuk dalam pengembangan istilah, melalui forum Mabbim seperti itu telah berlangsung selama 35 tahun lebih. Agar hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, sosialisasi hasil pengembangan istilah tersebut perlu lebih diintensifkan melalui berbagai lembaga, seperti perguruan tinggi, sekolah, dan organisasi-organisasi profesi. Di samping itu, media massa-baik cetak, elektronik, maupun media maya-juga sangat penting untuk dimanfaatkan dalam sosialisasi tersebut. Jangan sampai hasil kerja yang telah berlangsung selama 35 tahun sia-sia.

Seminar

Kerja sama dalam forum Mabbim tersebut dirayakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaannya lazim dibarengkan dengan penyelenggaraan acara persidangan. Pada tahun ini peringatan ulang tahun ke-35 Mabbim diselenggarakan di Hotel Borobudur, Jakarta, 7-11 April 2008. Untuk menyemarakkan acara ulang tahun itu, diselenggarakan pula seminar pada 7-8 April 2008 dengan tema "Memartabatkan Bahasa dan Sastra Nasional dalam Upaya Meningkatkan Katahanan Budaya Serumpun". Dalam acara itu akan diluncurkan sejumlah produk yang telah dihasilkan Mabbim.

Para pemakalah dan peserta dalam seminar tersebut berasal dari dalam dan luar negeri. Di samping mengupas tema, seminar tersebut juga membahas berbagai istilah yang telah dihasilkan untuk mengevaluasi dan mencari masukan serta sekaligus memasyarakatkan hasil pengembangan istilah yang telah dilakukan selama ini.

Tema yang diangkat dalam seminar tersebut tampaknya memang sangat relevan dengan kondisi saat ini. Seperti kita ketahui, di negeri sendiri bahasa Indonesia tampaknya memang belum ditempatkan dalam martabatnya yang layak. Artinya, sebagian masyarakat masih belum mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, seperti yang tampak pada ruang publik. Pada ranah itu penggunaan bahasa asing bahkan tampak lebih dominan daripada bahasa Indonesia. Lalu, di mana bahasa Indonesia kita martabatkan? Mudah-mudahan melalui seminar dalam rangka ulang tahun ke-35 Mabbim diperoleh masukan dan solusi yang tepat dalam upaya memartabatkan bahasa nasional, bahasa Indonesia.

Penulis adalah pemerhati masalah kebahasaan

BAHASA DAN PERHATIAN PEMERINTAH

Satu Upaya Memperkukuh Jati Diri Bangsa

Oleh Sahril

(Balai Bahasa Medan)

Abstrak

Keberadaan bahasa Indonesia (BI) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat kita temukan dalam UUD 1945, selaku undang-undang tertinggi di negara kita, yaitu pada Bab XV, Pasal 36. Setelah itu, upaya untuk membuat undang-undang tersendiri tentang bahasa memang terus diupayakan. Hadirnya Kepres No. 57 Tahun 1972 tentang Peresmian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Intruksi Medagri No. 20, tanggal 28 Oktober 1991, tentang Pemasyarakatan BI dalam Rangka Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Instruksi Mendikbud No. 1/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang Peningkatan Usaha Pemasyarakatan BI dalam Memperkukuh Persatuan dan Kesatuan Bangsa; Surat Mendagri kepada Gubernur, Bupati, dan Wali Kotamadya No. 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing. Akhirnya Pemendagri No. 40 Tahun 2007, tanggal 21 Agustus 2007, tentang pedoman bagi kepala daerah dalam pelestarian dan pengembangan bahasa negara dan bahasa daerah.

Lahirnya beberapa UU tentang berbagai aspek kiranya belum ada yang menyinggung secara rinci tentang penggunaan BI. Misalnya UU No. 32 Tahun 2002, tentang Penyiaran. PP No. 38 Tahun 2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pada pasal 2 ayat (4), ada 31 urusan pemerintah tetapi tidak ada tertera masalah bahasa.

Secara organisasi Balai dan Kantor yang menurut Kepmen PAN No. 62/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Organisasi UPT di mana secara eselon hanya menduduki eselon III-b. Jabatan struktural hanya ada dua, yaitu Kepala Balai (eselon III-b) dan Kepala Subbagian Tata Usaha (eselon IV-b). Posisi eselon ini sangat tidak menguntungkan, karena urusan kebahasaan menyangkut lintas sektoral. Secara struktural posisi Kepala Balai hanya setara dengan Sekretaris Camat, Kabag. dan Kabid. RSUD, Kabid. pada dinas dan badan di kabupaten/kota, Direktur RSUD kelas D. Sedangkan posisi Kepala Subbagian Tata Usaha hanya setara dengan Sekretaris Kelurahan, Kasi pada kelurahan, Kasubbag pada Sekretaris Camat, dan KTU Sekolah Kejuruan.

Pusat Bahasa yang eselon I-nya adalah Sekjen, Depdiknas menggunakan anggaran, sesuai PMK No. 91/PMK.05/2007, tentang Bagan Akun Standar bahwa Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor-nya di daerah termasuk klasifikasi berdasarkan sub-fungsi ke dalam kelompok pendidikan yang terdiri atas sepuluh sub-fungsi, dan Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor-nya menggunakan sub-fungsi kesepuluh yakni “Pendidikan lainnya” dengan klasifikasi kegiatan “Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan” dan klasifikasi sub-kegiatan “Pembinaan Bahasa Nasional”, sangatlah sulit untuk menyesuaikan program yang seakan sudah baku di lingkungan Pusat Bahasa, yaitu pengkajian, pengembangan, dan pembinaan.

Oleh sebab itu, sudah sepatutnya pucuk pimpinan Pusat Bahasa beserta pimpinan Balai dan Kantor Bahasa di daerah mengadakan perubahan terhadap kegiatan yang selama ini sudah dibakukan. Jika mengacu pada mata anggaran program “Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan”, kegiatan pengkajian, pengembangan, dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia sudah tidak tepat. Karena keluarannya tidak sesuai dengan program yang dipakai. Seharusnya yang menjadi kegiatan prioritas dari mata anggaran program di atas ialah kegiatan mengenai pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan.

Sebagaimana kita ketahui sekarang ini, bahwa anggaran yang dikelola oleh suatu instansi pemerintah, haruslah ada dampak langsungnya kepada rakyat. Ini memang merupakan tuntutan dalam sistem anggaran yang berbasis hasil. Akhirnya, bila suatu ketika pihak DPR mengaudit hasil-hasil apa yang telah dilakukan oleh Pusat Bahasa beserta Balai dan Kantor Bahasa-nya terhadap masyarakat/rakyat. Jika kita tidak mampu menjelaskan atau menunjukkan kepada pihak DPR, sudah tentu institusi ini akan terkena likuidasi. Apa lagi tanda-tanda ke arah sana sudah menunjukkan, di antaranya dengan hadirnya Permendagri No. 40 Tahun 2007, sebenarnya adalah ancaman bagi kita.


Tidak ada komentar: